Sunday, April 22, 2018

Memaknai Hari Bumi Menuju Keberlanjutan Ekologi



Oleh : Akbar B. Mappagala

Hari Bumi Sedunia (world earth day) yang jatuh pada tanggal 22 april yang diperingati setiap tahunnya merupakan bentuk apresiasi dan peningkatan kesadaran manusia terhadap tempat tinggal yang dihuni oleh manusia sampai saat ini. Beentuk apresiasi dan kesadaran tersebut diejawantahkan kedalam berbagai kegiatan sebagai simbolisasi dalam memperingati hari bumi. Beberapa organisasi, lembaga, komunitas maupun individu seakan bersambut melakukan aksi. Salah satunya dengan gerakan 60+ yang melakukan kampanye mematikan lampu selama 60 menit sebagai bentuk penghematan energi yang telah banyak diberikan oleh bumi. Ada juga yang melakukan kampanyenya dengan aksi berupa karya sastra seperti teatrikal, puisi serta karya seni lainnya yang betujuan menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian dan keberlangsungan kehidupan di bumi dengan tidak melakukan ekploitasi yang berlebihan pada lingkungan dan sumber-sumber energi, sehingga terus dapat digunakan oleh generasi selanjutnya.

Hari bumi harus dimaknai sebagai langkah awal dan bentuk dari kepedulian terhadap keberlanjutan ekologi. Agar tidak menjadi sekedar acara sereonial belaka, dan harus diikuti dengan meningkatnya kesadaran masyarakat bahwa bumi yang kita huni saat ini merupakan sesuatu yang sangat berharga, asset masa depan, perlu dijaga dan punya daya dukung serta  daya tampung. Apabila  terus dikeruk sumber dayanya tanpa memikirkan solusi yang berkelanjutan maka suatu saat dimasa depan akan memberikan peringatan-peringatan dalam bentuk gejala dan bencana alam seperti yang sudah sering terjadi belakangan ini. Secara teologi, Mengutip firman Tuhan dalam Q.S Ar-Ruum (30):41 bahwa “kerusakan didarat dan dilaut, karena perbuatan tangan manusia. Untuk merasakan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka sendiri. Supaya mereka itu kembali kejalan yang benar” . firman tuhan tersebut adalah peringatan bahwa manusia bisa menjadi perusak jika melakukan ekploitasi yang berlebihan tanpa melihat kelangsungan dan keberlanjutan lingkungan dimasa depan.

Beberapa bencana alam yang terjadi belakangan ini khusunya yang melanda kawasan perkotaan adalah gejala dari ekploitasi manusia yang berlebihan terhadap ruang-ruang di dalam bumi tanpa memikirkan pencegahan dan penanggulangannya terlebih dahulu. Bencana banjir salah satunya. Terjadi di beberapa kota di Indonesia misalnya di bandung , Makassar, mamuju dan Jakarta. Penyebabnya sudah jelas menurut beberapa analisa pakar adalah adanya pembangunan yang tidak teratur, ekploitasi berlebihan terhadap lingkungan, serta mengabaikan daya dukung dan daya tampung ruang.

Gejala alam lain yang juga terjadi adalah perubahan iklim. Perubahan iklim yang kini menjadi wacana global yang terus menjadi bahan diskusi di berbagai Negara. Dalam konteks perubahan iklim, Laporan IPCC 2014 menyebutkan sector-sektor penyumbang emisi gas rumah kaca adalah sektor listrik (25%), sektor pertanian, kehutanan, dan guna lahan (24%), sektor industri (21%) serta sektor tranportasi sebesar (14%)  perubahan Iklim yang berlangaung secara terus menerus akan berakibat pada terjadinya bencana alam dan kerusakan.  Kenyataan ini harus dilihat sebagai sebuah peringatan dini (early warning) , bahwa suatu saat dimasa depan bisa jadi manusia akan mengalami kepunahan atas perilakunya sendiri. Padahal proses tersebut bisa dicegah dan di tanggulangi sehingga dampaknya bisa direduksi sejak dini.

Keberlajutan Ekologi

Salah satu konsep yang menarik yang di tawarkan oleh Arne Naes dalam buku Sonny keeraf berjudul ”etika Lingkungan”, apa yang disebutnya sebagai “keberlanjutan ekologi yang luas“ sebagai alternatife wacana menyelamatkan lingkungan, sumber daya alam dan ekosistem selain wacana pembangunan berkelanjutan. Paradigma ini memberikan gagasan terhadap pemahaman pertumbuhan kehidupan ekonomi dengan berbasis basis pada ekologi yang sekaligus memberikan tingkat kehidupan yang layak  (Peningkatan kulitas dan standard hidup) tidak saja saja hanaya pada faktor ekonomi tetapi juga aspek sosial budaya. Hal yang signifikan dari pendekatan ini adalah digunakannya tolok ikur keberhasilan tingkat kehidupan manusia tidak hanya berdasarkan kemajuan material melainkan kualitas hidup dalam arti sesungguhnya yang tidak saja pada individu melainkan juga konteks kehidupan lingkungannya. Dengan kata lain kualitas kehidupan yang dicapai menjamin kehidupan ekologi, sosial-budaya dan ekonomi secara proporsional. Gaya hidup yang dibangun tidak lagi memberikan orientasi yang berlebihan terhadap konsumsi dan produksi melainkan gaya hidup yang menekankan kulaitas kehiduan bukan standard material kehidupan.

Menurut Marfai Paradigma keberlajutan ekologi memberikan arti yang signifikan dan hanya dapat dilakukan apa bila kesadaran kolektif dan hasrat untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia dalam arti yang sesunggungnya dengan melakukan perubahan mendasar pada kebijakan pembangunan yang memberikan prioritas dan kelestarian pada bentuk-bentuk kehidupan. Selain itu perubahan mendasar juga harus terwujud pada masing-masing individu manusia untuk memberikan keberpihakan pada pelestarian lingkungan sebagai bentuk dari moralitas lingkungan.

Bumi telah memberikan segala kekayaannya berupa sumberdaya alam dan lingkungan yang berlimpah untuk kehidupan umat manusia, adalah suatu amanat memberlakukannya secara arif dan bijaksana sehingga dapat bermanfaat secara nyata bagi kualitas kehidupan manusia dengan tetap menjamin keberlangsungan hak-hak kehidupan makhluk lain dimasa masa depan dan keberlangsungan ekosistem di dalamnya. Dengan begitu keberlajutan ekologi akan memberikan kemungkinan dan harapan yang lebih besar terhadap kelestarian bumi berserta isinya. Sebab sesungguhnya makna kebajikan tidak hanya terbatas pada kabajikan antar manusia dan manusia, manusia dan Tuhannya, namun juga antar manusia terhadap seluruh komponen ekosistem dan lingkungannya.  .

Selamat Hari Bumi…
Mari menjaga bumi, hingga Tuhan mengambilnya kembali….
Selengkapnya