Saturday, November 17, 2018

Kuliah I: Perencanaan (Wilayah dan Kota)




Manusia hidup didalam ruang yang memiliki rotasi waktu yang terus bergerak dari waktu ke waktu. Dalam menjalankan aktifitasnya didalam ruang, manusia senantiasa menghadapi ketidakpastian (uncertainty), dan ketidakpastian tersebut berdimensi waktu (pada masa yang akan datang). Entah itu satu menit kedepan atau puluhan hingga ratusan tahun kedepan.

Pada hakikatnya, manusia akan cenderung berupaya untuk mengurangi ketidakpastian tersebut, dan dalam menghadapinya, manusia menggunakan berbagai pendekatan, baik secara rasional maupun irrasional. Pada pendekatan irrasional, lahirlah profesi-profesi sepert ahli ramal, paranormal, dan sebagainya. Sebaliknya, pada pendekatan rasional, manusia menjadi seorang “perencana” untuk melakukan perencanaan dalam menyikapi ketidakpastian dengan tindakan-tindakan yang tepat, seperti misalkan; saat kita ingin merencanakan waktu untuk berlibur, pada saat itu juga kita mulai menentukan tujuan liburan kita akan kemana, kendaraan apa yang akan kita gunakan, berapa lama kita berlibur, dan seberapa besar biaya yang dibutuhkan. Oleh karenanya, istilah “perencanaan” sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.

Hall (2002) menerjemahkan istilah “perencanaan” sebagai kegiatan umum sehari-hari untuk menyusun dan mengurutkan langkah-langkah dan tindakan dalam rangka mencapai suatu tujuan atau tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan. Dengan begitu dalam “perencanaan” terdapat beberapa unsur pembentuk didalamnya, diantaranya; (1) ada tujuan yang harus ditetapkan, (2) dilakukan penyusunan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut.

Alexander (dalam Catanese, dan Snyder, 1986) menyampaikan unsur-unsur pembentuk “perencanaan” yang dikumpulkan dari beberapa penulis, diantaranya:
1.   Perencanaan merupakan salah satu kegiatan dasar manusia.
2.   Perencanaan memberikan pilihan rasional.
3.   Perencanaan berperan sebagai pengendali tindakan masa depan.
4.   Perencanaan merupakan salah satu cara pemecahan masalah.
5.   Perencanaan adalah kegiatan dilakukan oleh perencana (baik negara, swasta, ataupun masyarakat).

Jelasnya, “perencanaan” dapat digambarkan melalui suatu proses sebagai berikut:


Perencanaan (Wilayah dan Kota)

“Perencanaan” (Wilayah dan Kota) tidak hanya berdimensikan waktu, akan tetapi juga mengaitkan dimensi ruang didalamnya. Hal ini diterjemahkan pada kata “Perencanaan” yang berasal dari akar kata “plan”. Kata plan bersumber dari bahasa prancis, yaitu “planus” atau datar. Istilah ini bermakna sama dengan kata “plane” (bidang, permukaan), dan “plain” (dataran). Hal ini terkait dengan pengertian “gambar diatas bidang datar” atau “gambar peta/denah” sebagai representasi fisik dari suatu hal yang ingin dikerjakan, seperti; bangunan-bangunan atau kawasan, kota maupun wilayah.  Telah banyak dijumpai bergam artefak tentang bukti adanya aktifitas perencanaan dimasa lampau, seperti pembangunan kuil, candi, pura, masjid, gereja, istana, kompleks istana kerajaan, kompleks pasar pemerintahan, pusat-pusat permukiman tua, kota tua, dan lain sebagainya (Rustiadi, 2018).

Adapun dalam “perencanaan” (Wilayah dan Kota) biasa dikenal 3 cakupan ruang yaitu: (1) mikro, (2) mezo, dan (3) makro. Cakupan mikro merupakan cakupan ruang paling kecil, yang terdiri atas ruang dalam bangunan, bangunan, dan kompleks bangunan. Cakupan mezo terdiri dari sebagian area yang mencakup ruang kawasan atau bagian dari kota, sedangkan makro merupakan ruang yang mencakup mulai dari kota, wilayah (region), hingga tingkat nergara (nasional). Walaupun demikian, dalam praktiknya, ranah penanganan bidang “perencanaan” (Wilayah dan Kota) hanya mencakup ruang mezo dan makro. Seperti pada cakupan mezo kita mengenal istilah Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), sementara cakupan mazo kita mengenal istilah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Lebih lanjut, dalam dimensi waktu, cakupan perencanaan terbagi kedalam 3 yaitu: (1) perencanaan jangka pendek yaitu perencanaan dalam kurun waktu 1 tahun seperti Rencana Kerja SKPD, (2) perencanaan jangka menengah yaitu perencanaan dalam kurun waktu 5 tahun seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan (3) perencanaan jangka panjang yaitu perencanaan dalam kurun waktu 20 tahun seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Bayer, et al (2010)   secara lebih lengkap menjelaskan dimensi perencanaan (Wilayah dan Kota) sebagai berikut:
1.   Perencanaan (Wilayah dan Kota) terkait dengan masa depan; perencanaan (Wilayah dan Kota) mengumpulkan data masa lalu sampai masa kini untuk menganalisis kondisi yang akan dihadapi dimasa depan; berangkat dari situ, kita kemudian menentukan visi ke masa depan lalu menentukan langkah-langkah strategis yang kita sebut sebagai rencana.
2.   Perencanaan (Wilayah dan Kota) terkait dengan tempat; perencanaan (Wilayah dan Kota) mencakup penataan ruang seperti penggunaan lahan (pola ruang), atau tata letak infrastruktur (Struktur ruang). Sederhananya perencanaan (Wilayah dan Kota) menata bentuk kota dimasa yang akan datang.
3.   Perencanaan (Wilayah dan Kota) membantu suprastruktur (penentu kebijakan) untuk membuat arahan strategi kebijakan; didasarkan atas tujuan yang ingin dicapai dimasa yang akan datang, para perencana menyusun beberapa alternatif penataan Wilayah dan Kota dimasa yang akan datang.

Jelasnya dapat digambarkan dalam suatu mekanisme perencanaan (Wilayah dan Kota) sebagai berikut:
Dalam menuju kondisi ruang Wilayah/Kota yang diharapkan dimasa akan datang, maka para perencana (Negara, Swasta, atau Masyarakat) melakukan perencanaan dengan berlandaskan kepada keadaan (data) waktu dimasa lalu hingga kondisi yang ada sekarang ini. Berangkat dari sana, maka proses analisis data menjadi penguhubung antara kondisi Wilayah/Kota dimasa sekarang dan masa yang akan datang, sehingga proses inilah yang kemudian menghasilkan suatu informasi untuk menyusun arahan kebijakan perencanaan yang mernjadi dasar dalam kegiatan pembangunan di suatu Wilayah/Kota. 

Penulis: Febrianto Samin
Selengkapnya

Friday, November 9, 2018

Perencanaan (Wilayah) Partisipatif


Download Tulisan Perencanaan (Wilayah) Partisipatif 1-5


Download Button
Selengkapnya

Mendudukkan Bencana dalam Sudut Pandang Ilmiah dan Ruhiyah




Oleh : Despry Nur Annisa Ahmad*

Bencana menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/ atau faktor nonalam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Indonesia dalam waktu terakhir ini sedang masif dilanda bencana alam tektonik. Beberapa diantaranya yang menyebabkan korban jiwa adalah Gempabumi di Lombok dengan kekuatan 6,4 skala richter (SR) sehingga menghempas Lombok (Nusa Tenggara Barat) dan Bali. Dilansir dari BBC, terhitung 31 Juli 2018 lalu, jumlah korban yang dievakuasi di penampungan mencapai lebih dari 5.000 orang di Lombok. Gempa ini juga mengakibatkan 436 orang meninggal, lebih dari 1.393 orang luka-luka, 22.000 rumah rusak, dan 8 titik desa porak poranda, di antaranya: Calabai, Karombi, Kadindi Barat, Nangamiro, Kadindi Timur, Tambora, Pekat, dan Sorinomo.

Usai gempa pertama pada Minggu pagi tersebut, dirasakan lagi setidaknya 593 gempa susulan. Bahkan saat Minggu malam, jauh lebih dahsyat karena magnitudonya mencapai 7,0 SR dan berpusat di kedalaman kurang dari 20 kilometer, di area darat pula. Menurut data laporan pemerintah daerah dan relawan yang dikumpulkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Jumat (10/8/2018) siang, tercatat 321 orang meninggal dunia.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga sempat mengaktifkan peringatan akan terjadinya gelombang tsunami pada gempa berkekuatan 7,0 SR tersebut. Namun, dalam kurun waktu satu jam peringatan itu dicabut. Walaupun menurut data dari BMKG, gelombang tsunami sudah sempat menghantam wilayah pesisir dengan ketinggian 10-13 centimeter. Pasca terjadinya gempa besar tersebut sekitar pukul 18:46 WITA, Lombok kembali digoyang 47 kali gempa susulan dengan intensitas gempa yang lebih kecil.

Selanjutnya pada 28 September 2018, Palu juga dilanda gempabumi dengan kekuatan 7,4 SR dan menimbulkan gelombang tsunami. Dilansir melalui Kompas 8 Oktober 2018 lalu, data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa jumlah korban jiwa akibat gempa dan tsunami mencapai 1.763 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.519 jenazah ditemukan di Palu. Sementara, sebanyak 159 jenazah ditemukan di Donggala. Di Sigi, ditemukan 69 korban tewas; 15 jenazah di Parigi, dan 1 jenazah ditemukan di Pasangkayu. Adapun jumlah pengungsi, tercatat 62.359 jiwa di 147 titik.

Tidak hanya di Lombok maupun Palu, 11 Oktober di Situbondo Jawa Timur juga diguncang gempabumi dengan kekuatan 6,4 SR. Dilansir dari Tribunnews.com (11/10/2018), data dari BPBD mencatat bahwa jumlah korban meninggal dunia adalah 3 orang, jumlah korban yang luka-luka adalah 9 orang, dan sebanyak 25 rumah warga yang hancur akibat gempa.

Secara ilmiah, terjadinya gempabumi di Lombok, Palu, dan Situbondo memang merupakan peristiwa alam yang berupa hasil kerja lempeng tektonik di dalam bumi. Wilayah-wilayah yang berada dijalur sesar atau patahan aktif, alamiahnya memang akan diguncang gempa. Jika kekuatan magnitudo gempabumi tersebut berada dikisaran magnitudo 7 SR dan titik sumber gempanya dangkal atau memiliki kedalaman kurang dari 20 km, maka gempa tersebut termasuk dalam salah satu kriteria gempa yang berpotensi tsunami.

Lebih lanjut, tatanan lahan yang terdapat di Lombok, Palu, dan Situbondo terbentuk oleh proses geomorfologi struktural. Wilayah yang terbentuk dari proses struktural alamiahnya dalam jutaan tahun lalu merupakan daerah patahan. Pantai pasir putih adalah salah satu indikasi dari wilayah tersebut merupakan wilayah patahan karena pasir putih terbentuk dari proses struktural lalu mengalami pengangkatan ke dasar lautan dan membentuk lahan solusional. Jika disederhanakan, biasanya proses struktural dan proses solusional itu hampir sering berkolaborasi dalam waktu yang bersamaan.

Sejauh ini, seringkali banyak korban jiwa berjatuhan ketika dihantam oleh gempabumi dan tsunami karena secara teknisnya, tata ruang wilayah setempat belum berbasis dengan kajian mitigasi bencana. Padahal dalam aturannya di Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang sudah memuat himbauan agar tata ruang suatu wilayah haruslah disertai dengan kajian mitigasi bencana.

Jika ditelisik lebih jauh lagi, database terkait peta geologi maupun peta geomorfologi skala detail belum tersedia dan ini masih disepelehkan. Padahal, inilah yang justru lebih urgent disediakan karena pembuatan rencana tata ruang suatu wilayah yang resisten terhadap bencana haruslah berbasis pada geomorfologi maupun geologi wilayah tersebut. Bukan malah hanya menjadikan kajian aspek geologi maupun aspek geomorfologi sebagai data penunjang.

Valeda, dkk (2016) membuktikan dalam penelitiannya bahwa keberadaan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTWR) belum efektif dalam mereduksi bencana. Kemudian Muta’ali (2014) membahas lebih lanjut bahwa keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah masih dinilai belum efektif dalam mereduksi bencana karena deliniasi atau penetapan batas kawasan rawan bencananya kurang memiliki indikator penetapan kawasan rawan bencana yang tepat.

Kebanyakan produk tata ruang dalam melakukan justifikasi kawasan rawan bencana hanya berdasar kondisi eksisting. Padahal idealnya, kajian bencana dan upaya pengurangan risikonya itu butuh kajian ilmiah yang mendalam juga.

Selain itu, alasan lain dari tidak terselenggaranya produk tata ruang yang berbasis mitigasi bencana karena sejauh ini produk RTRW seringkali berorientasi pada nilai ekonomi sehingga tidak lagi melihat kemampuan lahannya terhadap bencana seperti apa.

Pernyataan penulis tersebut sejalan dengan apa yang telah disampaikan oleh Mardiatno (2014) selaku Kepala Pusat Studi Bencana Alam di Universitas Gadjah Mada pernah beropini dalam Kompas, 16 Juni 2014. Beliau menyatakan bahwa, “Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) seharusnya bisa menjadi kendali untuk mengurangi dampak bencana, apabila dalam pelaksanaannya memperhitungkan kajian-kajian tentang risiko. Masalahnya, RTRW kebanyakan hanya berorientasi ekonomi. Bahkan, sejumlah infrastruktur baru, misalnya Bandara Yogyakarta juga dibangun di daerah rentan gempa dan tsunami, selain juga banjir”.

Terjadinya tumpang tindih kebijakan teknis ini terjadi karena orientasi pembangunan hari ini memang masih dititikberatkan pada orientasi ekonomi. Bahkan bisa dikatakan, demi investasi, nyawa rakyat hampir sering menjadi taruhannya.

Hasil riset dari Prof Otto Ongkosongo sebelumnya telah pernah memformulasikan bahwa maksiat dan bencana itu punya korelasi yang kuat. Berdasar hasil riset tersebut dapat diambil hikmah bahwa bencana yang terjadi hari ini tidak dicukupkan pada kajian aspek ilmiah saja tapi juga sangat perlu didudukkan pada sudut pandang ruhiyah. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bersabda: “Jika harta rampasan perang dijadikan kas negara (tidak lagi diberikan kepada orang yang ikut perang), amanah dijadikan rebutan, jatah zakat dikurangi, selain ilmu agama banyak dipelajari, lelaki taat kepada wanita dan memperbudak ibunya, orang lebih dekat kepada temannya dan menjauh dari ayahnya, banyak teriakan di masjid, yang memimpin kabilah adalah orang yang bejat (fasik), yang memimpin masyarakat orang yang rendah (agamanya), orang dimuliakan karena ditakuti pengaruh buruknya, para penyanyi wanita tampil di permukaan, khamr diminum, dan generasi terakhir melaknat generasi pertama (sahabat), maka bersiaplah ketika itu dengan adanya angin merah, gempa bumi, manusia ditenggelamkan, manusia diganti wajahnya, dilempari batu dari atas, dan berbagai tanda kekuasaan Allah (musibah) yang terus-menerus, seperti ikatan biji tasbih yang putus talinya, maka biji ini akan lepas satu-persatu.” (HR. Turmudzi).

Berdasarkan hadits tersebut, kita semua harus banyak-banyak bermuhasabah. Jangan sampai kejadian bencana saat ini adalah warning dari pemilik alam agar kita menunaikan seluruh hak-hakNya untuk tertunaikan secara sempurna.

Terkait penanggulangan bencana, peradaban islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah telah mencontohkannya. An Nawiy (2018) memaparkan bahwa manajemen bencana model Khilafah Islamiyah tegak di atas aqidah Islamiyah. Prinsip-prinsip pengaturannya didasarkan pada syariat Islam, ditujukan untuk kemashlahatan rakyat, sehingga kebijakan teknis dilapangan tidak saling tumpang tindih. Manajemen bencana Khilafah Islamiyah meliputi penanganan pra bencana, ketika, dan sesudah bencana.

Penangangan pra bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mencegah atau menghindarkan penduduk dari bencana. Kegiatan ini meliputi pembangunan sarana-sarana fisik untuk mencegah bencana, seperti pembangunan kanal, bendungan, pemecah ombak, tanggul, dan lain sebagainya. Reboisasi (penanaman kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata kota yang berbasis pada amdal, memelihara kebersihan lingkungan, dan lain-lain.

Kegiatan lain yang tidak kalah penting adalah membangun mindset dan kepedulian masyarakat, agar mereka memiliki persepsi yang benar terhadap bencana; dan agar mereka memiliki perhatian terhadap lingkungan hidup, peka terhadap bencana, dan mampu melakukan tindakan-tindakan yang benar ketika dan sesudah bencana. Untuk merealisasikan hal ini, khalifah akan melakukan edukasi terus-menerus, khususnya warga negara yang bertempat tinggal di daerah-daerah rawan bencana alam; seperti warga di lereng gunung berapi, pinggir sungai dan laut, dan daerah-daerah rawan lainnya.

Edukasi meliputi pembentukan dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap penjagaan dan perlindungan lingkungan; serta peningkatan pengetahuan mereka terhadap penanganan ketika dan pasca bencana. Harapannya, masyarakat terbiasa peduli terhadap lingkungannya dan mengetahui cara untuk mengantisipasi dan menangani bencana, dan me-recovery lingkungannya yang rusak—akibat bencana—agar kembali berfungsi normal seperti semula.

Selain itu, Khilafah Islamiyah membentuk tim-tim SAR yang memiliki kemampuan teknis dan non teknis dalam menangani bencana. Tim ini dibentuk secara khusus dan dibekali dengan kemampuan dan peralatan yang canggih–seperti alat telekomunikasi, alat berat, serta alat-alat evakuasi korban bencana, dan lain-lain–, sehingga mereka selalu siap sedia (ready for use) diterjunkan di daerah-daerah bencana. Tim ini juga bergerak secara aktif melakukan edukasi terus-menerus kepada masyarakat, hingga masyarakat memiliki kemampuan untuk mengantisipasi, menangani, dan me-recovery diri dari bencana.

Serangkaian upaya manajemen tersebut telah dicontohkan pada saat terjadinya bencana paceklik yang menimpa Jazirah Arab dibawah kepemimpinan Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu. Pada saat itu, orang-orang mendatangi Kota Madinah sebagai pusat pemerintahan Khilafah Islamiyah untuk meminta bantuan pangan. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu segera membentuk tim yang terdiri dari beberapa orang sahabat, seperti Yazid bin Ukhtinnamur, Abdurrahman bin al-Qari, Miswar bin Makhramah, dan Abdullah bin Uthbah bin Mas’ud radhiyallahu anhu.

Setiap hari, keempat orang sahabat yang mulia ini melaporkan seluruh kegiatan mereka kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu, sekaligus merancang apa yang akan dilakukan besok harinya. Umar bin Khaththab ra menempatkan mereka di perbatasan Kota Madinah dan memerintahkan mereka untuk menghitung orang-orang yang memasuki Kota Madinah. Jumlah pengungsi yang mereka catat jumlahnya terus meningkat. Pada suatu hari, jumlah orang yang makan di rumah Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berjumlah 10 ribu orang, sedangkan orang yang tidak hadir di rumahnya, diperkirakan berjumlah 50 ribu orang.

Pengungsi-pengungsi itu tinggal di Kota Madinah selama musim paceklik. Dan selama itu pula mereka mendapatkan pelayanan yang terbaik dari Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu. Setelah musim paceklik berakhir, Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu memerintahkan agar pengungsi-pengungsi itu diantarkan kembali di kampung halamannya masing-masing. Setiap pengungsi dan keluarganya dibekali dengan bahan makanan dan akomodasi lainnya, sehingga mereka kembali ke kampung halamannya dengan tenang dan penuh kegembiraan. Manajemen bencana tersebut disusun karena dorongan aqidah islam untuk melaksanakan syariah “wajibnya seorang Khalifah melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya”.

Jikalau pemimpin negeri saat ini juga menggunakan prinsip aqidah islam dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, tentunya pemimpin hari ini tidak menyepelehkan kajian kemampuan lahan, penyediaan peta geologi dan peta geomorfologi dalam skala detail untuk dokumen tata ruang. Ekonomi juga bukan dijadikan basis orientasi pembangunan. Ridho Allah-lah yang menjadi basis pembangunan yang dilaksanakan agar dibawah kekuasaannya, rakyat tidak mengami penderitaan akibat kedzaliman pemimpin dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat.

Bencana gempabumi, tsunami, ataupun bencana lainnya memang merupakan musibah dan Qadha Allah. Kita sebagai manusia tidak memiliki ilmu yang bisa memprediksi kapan terjadinya. Namun, ada area ikhtiar kita sebagai manusia dalam melakukan upaya pengurangan risiko bencana. Dan sejauh ini, pembangunan-pembangunan atau dokumen tata ruang yang ada kebanyakan belum berbasis pada kajian risiko bencana. Olehnya, tanggung jawab pemimpinlah yang seharusnya menghadirkan Ruh Ilahi dalam menciptakan ruang yang aman, nyaman produktif, dan berkelanjutan bagi masyarakatnya. Sebab pemimpin yang yang memiliki kesadaran aqidah islam yang mengkrista, alamiahnya pasti akan menerapkan jaring-jaring syariah secara sempurna dan paripurna. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al-A’raf: 96)

*Penulis adalah Lulusan Sarjana Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar dan lulusan Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai universitas Gadjah Mada
Selengkapnya

Thursday, November 8, 2018

Penataan Ruang Berkelanjutan, Bisakah Diwujudkan?



Oleh : Mohammad Muttaqin Azikin*

Setelah era pertengahan tahun 1980-an, konsep “Pembangunan Berkelanjutan” menjadi semacam model bagi Pemerintah, LSM serta berbagai organisasi di tingkat regional maupun internasional, dan menjadikannya sebagai kata kunci dalam sejumlah wacana, rencana, kebijakan dan laporan yang disusun. Seperti diketahui, istilah “pembangunan berkelanjutan” untuk kali pertama diperkenalkan pada Oktober 1987, lewat laporan berjudul Our Common Future yang diterbitkan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) atau lebih dikenal dengan sebutan Brundtland Commission. Lembaga ini dibentuk oleh Sekretaris Umum PBB pada 1983,  disebabkan keprihatinan banyak pihak karena memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya manusia.

Di Indonesia, model ‘pembangunan berkelanjutan’ sudah cukup lama diadopsi dan menjadi agenda banyak kebijakan pembangunan yang disusun pemerintah, seperti  Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan bahkan paling mutakhir berupa Peraturan Presiden tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) Perpres No. 59 tahun 2017. Dalam kebijakan spasial pun, juga tertera pada tujuan penyelenggarakan penataan ruang, yakni untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional.

Meski begitu, dalam kenyataannya hingga saat ini, implementasi serta penerapan model pembangunan berkelanjutan, masih belum optimal. Sebab itu, Prof. Oekan S. Abdoellah, Ph.D. dalam bukunya “Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia di Persimpangan Jalan” menyebut bahwa model tersebut sampai sekarang ini masih bekerja ditingkat wacana dan retorika politik untuk sekadar memenuhi kewajiban sebagai anggota PBB. Bahkan, sebagian pengamat melihat adanya kecenderungan konsepsi berkelanjutan, tidak nyata-nyata menjadi pilar sesungguhnya dari pembangunan global, khususnya di Dunia Ketiga. “Pembangunan berkelanjutan” masih hidup pada taraf retorika belaka, yang tidak jarang menjadi tameng dan peluru yang dimanfaatkan, untuk membenarkan kebijakan-kebijakan sepihak yang ditekankan negara-negara Dunia Pertama, terhadap pemerintah negara-negara Dunia Ketiga, pada konteks penguasaan akses ekonomi dalam hal pembagian kerja kapitalis global. Demikian pernah diungkapkan R. Attfield dalam The Ethics of The Global Environment serta juga Prof. Dr. Otto Soemarwoto.

Roda pembangunan tentu akan terus berjalan, baik direncanakan ataupun tidak direncanakan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi. Namun, pembangunan tanpa disertai perencanaan akan berdampak munculnya permasalahan yang kompleks dan serius, yang pada gilirannya dapat membahayakan keberlangsungan kehidupan. Oleh karenanya, Rencana Penataan Ruang harus disusun dan dijadikan sebagai acuan dalam pembangunan.

Dalam “Kupas Tuntas Penataan Ruang” disebutkan bahwa salah satu ketentuan yang mengatur perihal pembangunan di negara kita, yaitu Rencana Pembangunan dengan Pendekatan Ruang, sebagaimana diatur dalam UU. No.26 tahun 2007, yang menghasilkan dokumen Rencana Umum Penataan Ruang dan Rencana Rinci Penataan Ruang. Pendekatan ini, mesti saling bersinergi dan saling mengacu dengan Rencana Pembangunan dengan Pendekatan Fungsi Pemerintahan (RPJP, RPJM, Renstra, RKPD), sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang yang memayunginya. Dalam arti, pelaksanaan penataan dan pemanfaatan ruang diprogramkan dalam rencana pembangunan, di samping itu, semua sektor ketika merencanakan pembangunan sektornya, harus mengacu dan memperhatikan rencana penataan ruang.

Pertanyaannya, setelah puluhan tahun berlakunya UU.26/2007, apakah penataan ruang berkelanjutan telah terwujud dan sudah menjadi rujukan penting dalam penyelenggaraan pembangunan? Sejatinya, penataan ruang mestilah meniscayakan adanya keberlanjutan. Sebab, tahapan dari sejak perencanaan, pemanfaatan, hingga pengendalian pemanfaatan ruang menunjukkan hal itu.

Namun demikian, demi menjaga serta memastikan keberlanjutan penyelenggaraan penataan ruang, maka setidaknya sejumlah langkah berikut dapat dijadikan pertimbangan, antara lain :

Pertama, Menyatukan persepsi di antara stakeholder yang terkait dengan penyelenggaraan penataan ruang, untuk secara bersama berkomitmen melaksanakan proses penataan ruang  yang ada, secara benar dan konsisten.

Kedua, Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penataan ruang, agar partisipasi masyarakat bisa semakin maksimal.

Ketiga, Mengawal proses politik dalam menelorkan produk-produk perencanaan saat memasuki tahapan legislasi, supaya tidak melenceng dari tujuan penataan ruang.

Lantas, penataan ruang berkelanjutan seperti apa yang kita inginkan? Yaitu, penataan ruang yang di mana tidak hanya menekankan pada aspek fisik dan ekonomi, tetapi juga memperhatikan aspek-aspek pembangunan bidang sosial, budaya dan lingkungan. Dengan begitu, penataan ruang berkelanjutan yang berasaskan pada keterpaduan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan adalah penataan ruang yang bukan saja memikirkan kepentingan generasi sekarang, tetapi juga memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang.

Pada konteks NKRI, penataan ruang berkelanjutan mesti berlandaskan pada wawasan nusantara. Dalam arti, penataan ruang yang berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai dasar negara, demi mewujudkan kehidupan  sejahtera bagi seluruh masyarakat dan juga untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia. Bisakah semua ini direalisasikan, yang notabene merupakan tugas negara dalam penyelenggaraan penataan ruang? Wallahu a’lam bisshawab.

* Pengurus Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Sulawesi Selatan dan Peneliti pada Ma’REFAT INSTITUTE (Makassar Research for Advance Transformation).
Selengkapnya

Sunday, August 19, 2018

Menakar Masalah Kekeringan dalam Perspektif Islam




Oleh : Despry Nur Annisa Ahmad, ST., M.Sc*

Pekan kedua Agustus tahun ini, kita diperhadapkan pada kasus kekeringan yang terus melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Di Jawa Timur, kekeringan melanda 442 desa . Di antara desa yang mengalami kekeringan itu, 199 desa di antaranya mengalami kekeringan kritis yang berarti tidak ada potensi air. Beberapa daerah di Jawa TengahJawa Barat, dan Yogyakarta juga mengalami kekeringan. Ribuan hektare sawah berpotensi gagal panen karena kurangnya pasokan air. Selain itu, Kekeringan pun melanda sejumlah wilayah di luar Pulau Jawa, seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan Sulawesi. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memprediksikan puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus dan September 2018 (Beritatagar.id 12/8/2018).

Definisi kekeringan itu sendiri menurut Suprayogi, dkk (2015) adalah suatu kondisi dimana cadangan air tidak dapat mencukupi kebutuhan air. Hal yang perlu ditekankan ketika sedang membahas bencana kekeringan dari sudut pandang keilmuan kampus penulis adalah tentang pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang terdapat dimasing-masing wilayah. Sebab kekeringan ini adalah salah satu bencana hidrometeorologi yang terjadi akibat pengelolaan DAS yang keliru. Jadi untuk mengurai soalan kekeringan, maka diperlukan pemahaman utuh tentang konsep DAS itu sendiri.

DAS adalah suatu ekosistem sekaligus sistem hidrologi dimana seluruh air yang mengalir bermuara pada outlet yang tunggal (Wani SP dan Garg K, 2008). DAS merupakan suatu ekosistem berarti bahwa pembahasan DAS tidak sebatas tentang unit hidrologi yang ada tetapi juga harus membahas tentang aspek sosial, ekologi, ekonomi, dan kebijakan yang diberlakukan di DAS tersebut. Adapun DAS sebagai suatu kesatuan tata air, yakni dipengaruhi oleh kondisi bagian hulu, khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempat rawan terhadap ancaman gangguan manusia. Fungsi dari keberadaan air yang ada di DAS ini selain untuk kebutuhan harian bagi seluruh makhluk hidup, air yang ada di DAS juga dapat dijadikan sebagai pembangkit listrik tenaga air, seperti yang telah dilakukan di Negara China (Bach et,al., 2011). Mengacu pada pengertian fundamental DAS ini, maka dapat dikatakan bahwa DAS merupakan potensi sumberdaya alam yang wajib dilestarikan karena sangat esensial bagi makhluk hidup.

DAS di Indonesia berjumlah 458. Enam puluh di antaranya dalam kondisi kritis berat, 222 kritis, dan 176 lainnya berpotensi krisis akibat alih fungsi lahan yang membuat penyangga lingkungan itu tidak berfungsi optimal. Akibat makin hilangnya vegetasi di bagian hulu DAS di pegunungan, ratusan DAS kini tak lagi mampu berfungsi menyerap air hujan di bagian hulu, bahkan mengalami erosi dan menyebabkan aliran air DAS makin banyak membawa sedimentasi dari hulu ke hilir. Bahkan, fungsi DAS mengalirkan air dari daratan ke laut kini juga sudah banyak yang terganggu karena badan sungai sepanjang hilir sampai ke hulunya makin menyempit dan rusak akibat pemukiman dan industri yang mengambil bantaran sungai. Akibat kerusakan DAS pula, tidak sedikit ditemukan wilayah yang mengalami ketertinggalan maupun keterbelakangan ekonomi karena DAS pada hakikatnya adalah habitat manusia itu bermukim dan beraktivitas.

Sebelumnya, penulis juga pernah melakukan penelitian di Tahun 2016 tentang bencana kekeringan di salah satu DAS yang terletak di Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan dan Tahun 2017 tentang bencana kekeringan di salah satu DAS yang terletak di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Kedua penelitian tersebut telah dipresentasikan pada masing-masing seminar nasional dan terpublis pada prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Pesisir dan Aliran Sungai ke-2 2016 dan Prosiding Seminar Nasional Geomatika 2017.

Hasil dari kedua penelitian tersebut diketahui bahwa kedua DAS yang diteliti mengalami kekeringan antropogenik. Kekeringan antropogenik adalah kekeringan yang terjadi karena disebabkan oleh perbuatan tangan manusia berupa pendirian bangunan pada daerah resapan air, penambangan pasir secara terus-menerus, dan alih fungsi lahan di kawasan lindung area hulu menjadi kawasan budidaya.

Berdasar hal tersebut, dapat diambil hikmah bahwa bencana kekeringan yang terjadi saat ini tidak lain adalah teguran dari Allah SWT agar kita tidak menjadi manusia yang melampaui batas. Sebagaimana beberapa firmanNya sebagai berikut:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ


Terjemahan:
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS.Ar Rum:41)


وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Terjemahan:
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. Asy-syura :30)

Jika ditelisik lebih dalam lagi, Indonesia saat ini merupakan negeri muslim terbesar di dunia. Seharusnya, jika muslim yang menjadi mayoritas, pasti mereka tidak mungkin berbuat kerusakan karena mereka punya islam sebagai dasar hidupnya. Namun pada faktanya, muslim yang mayoritas ini tidak menjadikan islam sebagai ruh hidupnya. Al hasil, tak sedikit muslim yang lupa akan konsekuensinya diciptakan Allah sebagai khalifah dalam mengelolah sumberdaya alam di bumi ini.

Mudahnya muslim di negeri ini lupa akan identitasnya disebabkan karena negara saat ini menerapkan aturan sekuler (pemisahan agama dari kehidupan). Padahal Islam itu sendiri tidaklah dapat dimaknai sempit sebatas berisi aturan ibadah mahdah saja seperti agama yang lainnya. Lebih dari itu, islam juga mempunyai seperangkat aturan dalam hal kehidupan sosial seperti aturan sistem kepemimpinan syar’i, sistem ekonomi, sistem pergaulan, sistem peradilan, sistem pendidikan, dan termasuk pula didalamnya mengatur tentang kewajiban individu akan penjagaan terhadap lingkungan.

Beberapa aturan islam yang berkaitan dengan penjagaan terhadap lingkungan adalah:
a. Tidak boleh melakukan kerusakan terhadap segala sesuatu sesudah ada perbaikan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 33:

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

b.  Tidak boleh melakukan pencemaran lingkungan dengan kotoran manusia. Rasulullah Saw bersabda:

Terjemahan:

“Berhati-hatilah terhadap dua orang terlaknat.” Sahabat bertanya, “Siapakah dua orang terlaknat itu?” Rasulullah menjawab, “Yakni orang yang membuang kotoran di jalanan yang dilalui orang dan tempat berteduh mereka.”

c.  Islam melarang penebangan pohon yang bisa mengancam kelestarian lingkungan. Rasulullah Saw bersabda:

“Siapa yang memotong pohon bidara yang ada di atas tanah lapang—yang sering digunakan sebagai tempat bernaung bagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan ataupun binatang-binatang—secara sia-sia dan penuh kezaliman tanpa alasan yang benar, maka Allah akan menaruh api neraka di atas kepalanya (HR. Al-Bukhari).

d.  Islam mendorong untuk menggarap tanah dengan cara ditanami, atau menyitanya (tanah pertanian tersebut) dari siapa saja yang tidak menanaminya. Rasulullah Saw bersabda:

Hadist Jabir bin Abdullah r.a. dia berkata : Ada beberapa orang dari kami mempunyai simpanan tanah. Lalu mereka berkata: Kami akan sewakan tanah itu (untuk mengelolahnya) dengan sepertiga hasilnya, seperempat dan seperdua. Rosulullah S.a.w. bersabda: Barangsiapa ada memiliki tanah, maka hendaklah ia tanami atau serahkan kepada saudaranya (untuk dimanfaatkan), maka jika ia enggan, hendaklah ia memperhatikan sendiri memelihara tanah itu. “(HR. Bukhori)

e.  Islam melarang untuk membunuh binatang secara sia-sia. Rasulullah Saw bersabda,

“Setiap orang yang membunuh burung pipit atau binatang yang lebih besar dari burung pipit tanpa ada kepentingan yang jelas, dia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.” Ditanyakan kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, apa kepentingan itu?” Rasulullah menjawab, “Apabila burung itu disembelih untuk dimakan, dan tidak memotong kepalanya kemudian dilempar begitu saja.” (HR Ahmad).

Seandainya saja negeri ini tidak memisahkan antara aturan wahyu dengan kehidupan manusia, dan mau menggunakan islam sebagai nafas berjalannya sistem pemerintahan, maka tentu saja paradigma dalam pembangunan tiap individu yang berada di negeri ini tidak seperti sekarang. Sekarang ini, paradigma tiap individu bertitik tolak pada nilai. Bukan lagi pada substansi. Padahal jika dikembalikan kepada aqidah islam, substansi kehidupan kita di dunia ini adalah untuk beribadah dan melakukan perbaikan-perbaikan. Namun perbaikan-perbaikan itu belum sepenuhnya bisa terlaksana dengan baik jika tidak didukung oleh negara yang menerapkan aturan Islam sebagai satu-satunya aturan wahyu yang mampu mengatur zona sosial manusia sekalipun didalamnya terdapat lintas agama.

Olehnya dalam melihat bencana kekeringan yang saat ini melanda negeri yang kita cintai ini, maka penting bagi kita yang muslim untuk mendudukkan bencana tersebut dalam konstelasi aqidah islam. Sebab telah kita ketahui bersama bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam bukan cuma rahmat bagi kaum muslimin. Maka tentu, dibutuhkan sebuah perisai aturan wahyu yang bertindak sebagai payung lebar dalam menaungi kehidupan bernegara ini agar menjadi berkah dan sejahtera. Sebagaimana janji Allah Swt dalam Q.S Al a’raf ayat 96):


وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ


Terjemahan:

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (Q.S AlA’raf: 96).

Jadi secara keseluruhan, dalam memandang permasalahan kekeringan di negeri ini dibutuhkan dua solusi. Solusi progresif dan solusi adaptif. Solusi progresif adalah solusi yang berupa perbaikan paradigma bernegara dalam memandang pembangunan di negeri ini. Bahwa berjalannya pembangunan di negeri ini tidaklah dapat dipisahkan dari aturan wahyu sebab jika manusia dibiarkan mengatur hidupnya dengan memperturutkan hawa nafsunya, maka yakin saja akan terjadi bencana-bencana antropogenik yang berkelanjutan.

Adapun solusi adaptif yang dimaksud adalah solusi yang berupa langkah-langkah teknis  yang dapat dilakukan dalam melaksanakan rencana aksi naturalisasi untuk menindak lanjuti arahan fungsi pemanfaatan ruang dengan menerapkan tindakan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah secara vegetatif, teknik sipil, dan kimiawi. Hal tersebut bertujuan untuk mengembalikan dan menjaga fungsi utama kawasannya. Pada tataran langkah teknis ini, sifatnya lebih menekankan pada langkah riil dilapangan. Namun, langkah teknis ini tidak cukup jika tidak didukung oleh paradigma yang benar dalam pengelolaan DAS. Sebab masalah kekeringan yang terjadi saat ini adalah hal sistemik, serentak terjadi di negeri ini. Artinya, terdapat paradigma yang keliru dalam mengelolah DAS itu sendiri.

Paradigma keliru tersebut berupa paradigma yang menitikberatkan pada pemikiran bahwa lahan DAS tersebut adalah milik manusia sehingga manusia kadang tidak sadar telah berbuat melampaui batas. Jika dikembalikan pada paradigma yang benar, maka tentu saja sebagai muslim, kita akan berpikir bahwa segala lahan yang terdapat di muka bumi ini adalah milik Allah. Sehingga untuk pengelolaannya pun, kita tentu harus menggunakan aturan wahyu bukan serta merta larut dalam kecenderungan arahan nafsu.

*Penulis adalah lulusan Sarjana Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota UIN Alauddin Makassar dan lulusan Magister Perencanaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Selengkapnya

Saturday, July 14, 2018

Masih Lemahnya Aspek Pengendalian Dalam Penataan Ruang




Oleh : Mohammad Muttaqin Azikin*

Dalam proses penyelenggaraan penataan ruang, tahapan yang paling krusial  adalah pada pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, sebuah daerah boleh saja telah memiliki rencana yang baik, namun jika tidak memperhatikan pengendalian dan pengawasannya, maka tetap saja akan menimbulkan persoalan.

Mengapa pengendalian itu diperlukan? Pada “Kupas Tuntas Penataan Ruang” yang diterbitkan Direktorat Jenderal Penataan Ruang disebutkan bahwa fungsi pengendalian adalah agar tercapai keseimbangan pemanfaatan ruang, yaitu pemanfaatan ruang yang sesuai dengan perencanaan penataan ruang yang telah ditetapkan. Karena kenyataan menunjukkan, bahwa di banyak daerah, walaupun RTRW sudah selesai dan ditetapkan, namun masih saja ada pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukan. Pada PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Pasal 147, dinyatakan bahwa, “Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan untuk menjamin terwujudnya penataan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang.” Selanjutnya dalam pelaksanaan pengendalian tersebut, terdapat empat instrumen yang tersedia, yaitu : peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi.

Dalam hal penerapan dari instrumen tersebut, sejumlah persoalan masih menjadi kendala. Dan karenanya, upaya pengendalian pemanfaatan ruang yang dilakukan masih terlihat lemah. Oleh sebab itu, perlu memperhatikan beberapa hal berikut di antaranya :

Pertama, Jika kita konsisten menjadikan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang, maka regulasi yang ada mesti menjadi panduan dan pedoman dalam hal pemanfatan ruang. Jadi, kalau pun peraturan zonasi dan RDTR belum ada, tapi karena keduanya merupakan satu kesatuan dengan RTRW, maka fungsi pengendalian tetap harus dilakukan demi menghindari semakin maraknya pelanggaran tata ruang. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 153, PP No.15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang menyatakan bahwa peraturan zonasi kabupaten/kota merupakan penjabaran dari ketentuan umum peraturan zonasi yang ditetapkan dalam  rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

Kedua, Pada Undang-Undang Penataan Ruang No.26 tahun 2007, disebutkan bahwa pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Namun dalam kenyataan, masih sering kita temukan penggunaan dan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh, dalam Perda No.4 tahun 2015 tentang RTRW Kota Makassar ditetapkan bahwa Kecamatan Tamalanrea sebagai kawasan peruntukan ruang untuk pusat kegiatan pendidikan tinggi dan penelitian. Tapi kenyataan yang terjadi saat ini, telah tumbuh pula kegiatan-kegiatan jasa perdagangan serta jasa hiburan. Pertanyaannya, apakah fungsi pengendalian telah dilakukan pada wilayah tersebut? Padahal, beberapa poin dalam  Pasal 37 UU. No.26/2007, telah dengan jelas disebutkan, antara lain; izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah menurut kewenangan masing-masing (Poin 2), izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum (Poin 3), izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar, tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Poin 4), serta pada poin 7 dinyatakan bahwa setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang, dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Dengan regulasi seperti itu, apakah masih tidak memungkinkan pengendalian itu dilaksanakan?

Ketiga, Terkait masalah disinsentif, sepertinya terdapat hal yang kontradiktif. Karena, di satu sisi, disinsentif disebutkan sebagai perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, tapi pada sisi yang lain, seperti membuka celah terjadinya pelanggaran tata ruang. Oleh sebab itu, menurut hemat saya, instrumen disinsentif ini semestinya tidak perlu ada dalam aturan tentang penataan ruang sehingga tertib tata ruang betul-betul bisa diwujudkan.

Keempat, Dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang, pemerintah telah membentuk PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Bidang Penataan Ruang yang bertugas menyelidiki pelanggaran penataan ruang. Namun, oleh sebagian besar PPNS beranggapan bahwa tugas pengendalian di lapangan, sering terkendala karena kekuatan hukum yang dimiliki oleh PPNS Penataan Ruang masih lemah. Karena itu, diperlukan aturan yang kuat bagi posisi, tugas serta kewenangan PPNS dalam menjalankan fungsinya secara efektif.

Kelima, Memaksimalkan fungsi dan kerja dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD/TKPRD), khususnya dalam upaya pengendalian pemanfaatan ruang. Sehingga tidak hanya sebatas melakukan fungsi koordinasi dan konsultasi teknis pekerjaan tata ruang. Olehnya itu, diperlukan kerja yang lebih komprehensif dalam memahami berbagai permasalahan penataan ruang yang semakin kompleks.

Dari uraian di atas, kita berharap fungsi pengendalian pemanfaatan ruang dapat berjalan dengan sebaik-baiknya, sebagaimana yang diinginkan bersama. Jika tidak, maka yang dikuatirkan akan terjadi konflik penataan ruang, yang pada gilirannya bisa menimbulkan perebutan dan penguasaan atas ruang, seperti diungkapkan Henri Lefebvre dengan memunculkan dua tipe penguasaan ruang, yang disebutnya sebagai ‘ruang abstrak’ (ruang-ruang terencana yang dikuasai oleh pengguna moda produksi kapitalis – sektor formal) dan ‘ruang diferensial’ (ruang-ruang tak terencana yang dikuasai oleh pengguna moda produksi pra kapitalis – sektor informal). Demikian kutipan Guru Besar Sosiologi Arsitektural dan Perkotaan-Program Pasca Sarjana Universitas Bosowa Makassar, Prof.Dr.Ir. Tommy Eisenring, M.Si, dalam tulisan pengantarnya pada buku “Menjadi Seorang Planolog”.

* Pengurus Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Sulawesi Selatan dan Peneliti pada Ma’REFAT INSTITUTE (Makassar Research for Advance Transformation).
Selengkapnya

Sunday, April 22, 2018

Memaknai Hari Bumi Menuju Keberlanjutan Ekologi



Oleh : Akbar B. Mappagala

Hari Bumi Sedunia (world earth day) yang jatuh pada tanggal 22 april yang diperingati setiap tahunnya merupakan bentuk apresiasi dan peningkatan kesadaran manusia terhadap tempat tinggal yang dihuni oleh manusia sampai saat ini. Beentuk apresiasi dan kesadaran tersebut diejawantahkan kedalam berbagai kegiatan sebagai simbolisasi dalam memperingati hari bumi. Beberapa organisasi, lembaga, komunitas maupun individu seakan bersambut melakukan aksi. Salah satunya dengan gerakan 60+ yang melakukan kampanye mematikan lampu selama 60 menit sebagai bentuk penghematan energi yang telah banyak diberikan oleh bumi. Ada juga yang melakukan kampanyenya dengan aksi berupa karya sastra seperti teatrikal, puisi serta karya seni lainnya yang betujuan menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian dan keberlangsungan kehidupan di bumi dengan tidak melakukan ekploitasi yang berlebihan pada lingkungan dan sumber-sumber energi, sehingga terus dapat digunakan oleh generasi selanjutnya.

Hari bumi harus dimaknai sebagai langkah awal dan bentuk dari kepedulian terhadap keberlanjutan ekologi. Agar tidak menjadi sekedar acara sereonial belaka, dan harus diikuti dengan meningkatnya kesadaran masyarakat bahwa bumi yang kita huni saat ini merupakan sesuatu yang sangat berharga, asset masa depan, perlu dijaga dan punya daya dukung serta  daya tampung. Apabila  terus dikeruk sumber dayanya tanpa memikirkan solusi yang berkelanjutan maka suatu saat dimasa depan akan memberikan peringatan-peringatan dalam bentuk gejala dan bencana alam seperti yang sudah sering terjadi belakangan ini. Secara teologi, Mengutip firman Tuhan dalam Q.S Ar-Ruum (30):41 bahwa “kerusakan didarat dan dilaut, karena perbuatan tangan manusia. Untuk merasakan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka sendiri. Supaya mereka itu kembali kejalan yang benar” . firman tuhan tersebut adalah peringatan bahwa manusia bisa menjadi perusak jika melakukan ekploitasi yang berlebihan tanpa melihat kelangsungan dan keberlanjutan lingkungan dimasa depan.

Beberapa bencana alam yang terjadi belakangan ini khusunya yang melanda kawasan perkotaan adalah gejala dari ekploitasi manusia yang berlebihan terhadap ruang-ruang di dalam bumi tanpa memikirkan pencegahan dan penanggulangannya terlebih dahulu. Bencana banjir salah satunya. Terjadi di beberapa kota di Indonesia misalnya di bandung , Makassar, mamuju dan Jakarta. Penyebabnya sudah jelas menurut beberapa analisa pakar adalah adanya pembangunan yang tidak teratur, ekploitasi berlebihan terhadap lingkungan, serta mengabaikan daya dukung dan daya tampung ruang.

Gejala alam lain yang juga terjadi adalah perubahan iklim. Perubahan iklim yang kini menjadi wacana global yang terus menjadi bahan diskusi di berbagai Negara. Dalam konteks perubahan iklim, Laporan IPCC 2014 menyebutkan sector-sektor penyumbang emisi gas rumah kaca adalah sektor listrik (25%), sektor pertanian, kehutanan, dan guna lahan (24%), sektor industri (21%) serta sektor tranportasi sebesar (14%)  perubahan Iklim yang berlangaung secara terus menerus akan berakibat pada terjadinya bencana alam dan kerusakan.  Kenyataan ini harus dilihat sebagai sebuah peringatan dini (early warning) , bahwa suatu saat dimasa depan bisa jadi manusia akan mengalami kepunahan atas perilakunya sendiri. Padahal proses tersebut bisa dicegah dan di tanggulangi sehingga dampaknya bisa direduksi sejak dini.

Keberlajutan Ekologi

Salah satu konsep yang menarik yang di tawarkan oleh Arne Naes dalam buku Sonny keeraf berjudul ”etika Lingkungan”, apa yang disebutnya sebagai “keberlanjutan ekologi yang luas“ sebagai alternatife wacana menyelamatkan lingkungan, sumber daya alam dan ekosistem selain wacana pembangunan berkelanjutan. Paradigma ini memberikan gagasan terhadap pemahaman pertumbuhan kehidupan ekonomi dengan berbasis basis pada ekologi yang sekaligus memberikan tingkat kehidupan yang layak  (Peningkatan kulitas dan standard hidup) tidak saja saja hanaya pada faktor ekonomi tetapi juga aspek sosial budaya. Hal yang signifikan dari pendekatan ini adalah digunakannya tolok ikur keberhasilan tingkat kehidupan manusia tidak hanya berdasarkan kemajuan material melainkan kualitas hidup dalam arti sesungguhnya yang tidak saja pada individu melainkan juga konteks kehidupan lingkungannya. Dengan kata lain kualitas kehidupan yang dicapai menjamin kehidupan ekologi, sosial-budaya dan ekonomi secara proporsional. Gaya hidup yang dibangun tidak lagi memberikan orientasi yang berlebihan terhadap konsumsi dan produksi melainkan gaya hidup yang menekankan kulaitas kehiduan bukan standard material kehidupan.

Menurut Marfai Paradigma keberlajutan ekologi memberikan arti yang signifikan dan hanya dapat dilakukan apa bila kesadaran kolektif dan hasrat untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia dalam arti yang sesunggungnya dengan melakukan perubahan mendasar pada kebijakan pembangunan yang memberikan prioritas dan kelestarian pada bentuk-bentuk kehidupan. Selain itu perubahan mendasar juga harus terwujud pada masing-masing individu manusia untuk memberikan keberpihakan pada pelestarian lingkungan sebagai bentuk dari moralitas lingkungan.

Bumi telah memberikan segala kekayaannya berupa sumberdaya alam dan lingkungan yang berlimpah untuk kehidupan umat manusia, adalah suatu amanat memberlakukannya secara arif dan bijaksana sehingga dapat bermanfaat secara nyata bagi kualitas kehidupan manusia dengan tetap menjamin keberlangsungan hak-hak kehidupan makhluk lain dimasa masa depan dan keberlangsungan ekosistem di dalamnya. Dengan begitu keberlajutan ekologi akan memberikan kemungkinan dan harapan yang lebih besar terhadap kelestarian bumi berserta isinya. Sebab sesungguhnya makna kebajikan tidak hanya terbatas pada kabajikan antar manusia dan manusia, manusia dan Tuhannya, namun juga antar manusia terhadap seluruh komponen ekosistem dan lingkungannya.  .

Selamat Hari Bumi…
Mari menjaga bumi, hingga Tuhan mengambilnya kembali….
Selengkapnya