Tuesday, March 27, 2018

Tahun Politik dan Harapan Bagi Penataan Ruang di Daerah




Oleh : Akbar B Mappagala S.

“Tahun Politik”, begitulah tema diskusi yang cukup ramai dibicarakan diawal tahun 2018, dulas di berbagai media baik sosial maupun elektronik. Ada 171 pemilihan kepala daerah baik gubernur, walikota maupun bupati di beberapa daerah di wilayah Indonesia yang akan dilaksanakan pada 27 juni 2018. Pemilihan kepala daerah menjadi penting bagi perkembangan sistem demokrasi di Indonesia, sebab sejak 2015 KPU telah menyelenggarakan pilkada serentak di berbagai daerah untuk memilih kepala daerah dengan proses yang demokratis. Perkembangan demokrasi indonesia sudah cukup baik walaupun masih perlu berbagai perbaikan yang terus harus dilakukan oleh semua pihak. Utamanya dalam menjalankan amanat undang-undang dasar 1945 yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia yang sampai saat ini masih belum tercapai setelah 72 tahun indonesia merdeka. Perkembangan demokrasi tersebut diringi dengan terus terbukanya akses masyarakat dalam mengontrol kebijakan pemerintah dan beberapa program pembangunan. Pilkada ditahun politik menjadi harapan bagi masyarakat terhadap peningkatan kesejateraan dan keadilan sosial yang hanya dapat diwujudkan oleh pemimpin daerah yang punya integritas dan ikhlas bekerja untuk rakyat.

Seiring dengan perkembangan politik dan pemilihan kepala daerah yang menghasilkan pemimpin daerah yang akan menjalankan roda pembangunan dan pemerintahan, ada harapan besar dari momentum ini, utamanya dalam sudut pandang perencanaan dan penataan ruang. Sebab kepala daerah memiliki posisi yang vital dalam menata dan merecanakan daerah yang dipimpinnya kearah yang lebih baik. Ini telah diatur dalam pasal 65 UU No. 23 tahun 2014, bahwa wewenang kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) dalam menetukan arah pembangunannya termasuk dalam menghasilkan produk perencanaan baik rencana umum (RT/RW dan Provinsi/Kabupaten) maupun rencana rinci tata ruang (RDTR/RTR Kawasan Strategis). Kemudian wewenang lain juga diatur dalam pasal 7 UU No 26 tahun 2007 menyatakan bahwa pemerintah daerah diberi kewenangan oleh Negara dalam penyelengaaraan penataan ruang. Tentunya kewenangan tersebut menjadi sangat penting. Ketika wewenang yang telah diamanatkan, dilaksanakan dengan maksimal oleh setiap kepala daerah maka wujud dan tujuan dari penataan ruang akan tercapai.

Tercapainya tujuan penataan ruang menjadi hal mutlak yang harus dicapai dalam setiap perencanaan. Ruang yang menjadi tempat masyarakat melangsungkan kehidupan menjadi penting untuk terus di tata dan rencanakan. Sebab kehidupan terus berlajut dan perkembangan terus berjalan begitu cepat sementara pembangunan harus terus didukung dengan perencanaan yang tepat dan mampu mengakomodir fenomena globalisasi pada semua aspek. Ruang harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan masyarakat yang akan datang. Dengan begitu kelesatarian ruang menjadi hal penting yang harus dipenuhi dengan harapan agar sinergitas pemerintah daerah dalam menentukan arah pembangunan mampu menjamin harapan hidup masyarakat dapat terwujud.

Berbagai persoalan penataan ruang yang terjadi di beberapa wilayah di indonesia menjadi pengalaman penting masyarakat dalam menentukan pilihan. Beberapa persoalan tersebut terjadi akibat kebijakan perencanaan dan penataan ruang masih belum terakomodir dalam proses pembangunan. Misalnya saja pembangunan pabrik Semen swasta di daerah Jawa Tengah yang menjadi persoalan rumit antara Pihak pengembang, pemerintah dan masyarakat. Konflik kepentingan tersebut terjadi akibat aturan yang tumpang tindih dan pemerintah yang fokus pada peningkatan ekonomi semata sehingga abai terhadap aspek lain yang menujang keberlangsungan. Persoalan lain misalnya kebijakan pemberian izin operasional tambang dan perkebunan yang juga banyak menuai persoalan di berbagai wilayah, Masalah perebutan lahan antara swasta dan masyarakat tidak mampu diselesaikan dengan produk rencana yang telah dibuat sehingga menjadikan pelanggaran tata ruang yang seolah dilegalkan. Belum lagi soal perebutan wewenang terhadap hutan adat yang aturannya sudah jelas serta persoalan banjir dan kemacetan yang tidak kunjung tuntas diselesaikan oleh Kepala Daerah.

Menurut ketua IAP Bernadus Djonoputro dalam tulisannya di harian kompas, menyatakan bahwa tata ruang dalam prosesnya kerap meninggalkan dimensi kemanusiaan, karena lebih focus pada konektivitas infrastruktur. Ini yang disebut sebagai dehumanisasi perencanaan, yang apabila dibiarkan akan melahirkan ruang-ruang yang tidak layak huni karena menerobos daya dukung lingkungan (carrying capacity), delineasi ekoregion dan optimasi ruang. Tentunya persepsi tersebut diamini oleh kondisi dan realitas yang ada saat ini, dehumanisasi dimulai dari proses perencaan/penataan pembangunan hingga hasil akhir dari produk perencanaan. Kemudian pertumbuhan ekonomi investasi dan percepatan pembangunan infrastuktur menjadi terhambat karena konflik ruang. Proyek strategis bertabrakan dengan rencana di level nasional maupun lokal. Masalah tersebut memerlukan koordinasi dan kebijaksanaan antara pemimpin daerah dan pemerintah pusat dalam mengambil sikap tanpa menyampingkan hak dan kepentingan masyarakat. Pemimpin yang dibutuhkan sebagai pembawa harapan akan terwujudnya ruang yang aman nyaman produktif berkeadilan dan berkelanjutan.

Dari beberapa persoalan tersebut kunci penyelesaiannya adalah mematuhi dan menerapkan kebijakan sesuai prosedur yang telah tercantum dalam produk rencana. Kemudian Kepala daerah selaku penentu kebijakan penataan ruang di daerahnya masing-masing melakukan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan agar tidak tejadi konflik dalam proses pembangunan. Memastikan keberlangsungan/kelestarian ruang dalam setiap proses pembangunan sebagai prinsip mutlak yang harus terpenuhi. Kesemuanya itu hanya dapat diakukan oleh kepala daerah yang memiliki integritas dan track record yang baik. Maka, dengan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah, harapan masyarakat kembali terbuka untuk menentukan arah pembangunan dan penataan ruang yang sesuai dengan aturan, dengan memilih pemimpin berdasarkan visi dan misi yang jelas dan betul-betul mampu mewujudkan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif, berkeadilan dan berkelanjutan dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.

*Penulis merupakan Alumni Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah 

Republish dari washilah.com (2/03/18) 
Selengkapnya

Sunday, March 25, 2018

Refleksi Morfologi Pendekatan Perencanaan Ibu Kota



Farid Nurrahman S.T., MSc.
Ig : @faridnurrahman
Lecturer of Urban and Regional Planning
Kalimantan Institute of Technology

Jakarta, ibu kota Indonesia yang mendunia ini merupakan pusat perekonomian terkuat dan juga menjadi patokan sebuah peradaban pembangunan perkotaan di seluruh Indonesia, sukses dan tidaknya perencanaan kota di Indonesia sebenarnya sudah dapat dicerminkan dari kondisi ibu kota nya. Pembangunan dan perencanaan kota Jakarta selalu menjadi perhatian utama sejak jaman kemerdekaan, sehingga banyak studi yang mengangkat tentang pentingnya penataan kawasan perkotaan dengan mengambil sampel di kota ini. Salah satu isu utama yang menjadi perhatian adalah bagaimana pendekatan perencanaan tersebut dilakukan dan seperti apa dampaknya baik dari sisi tata ruang, politik, dan pembentukan budaya masyarakat.

Sebelum Indonesia merdeka, pengembangan perencanaan kota Jakarta dilakukan pada masa kolonial diawali dengan menggunakan banyak pendekatan salah satunya adalah pendekatan ras dan golongan. Urusan perencanaan diutamakan untuk memenuhi kepetingan golongan tertinggi pada saat itu yaitu orang-orang eropa, klasifikasi perencanaan kota dibagi menjadi beberapa zona disesuaikan tingkatan golongan. Ciri khas zona-zona utama pada saat itu adalah bangunan megah yang memiliki fungsi administratif, sebagai penanda adalah bangunan memiliki fasad arsitektur bergaya eropa yang dimodifikasi dengan kondisi cuaca tropis untuk meningkatkan kenyamanan dan produktivitas kegiatan. 

Selanjutnya pendekatan perencanaan kota untuk kalangan orang-orang Indo (Turunan pribumi dan Eropa), kalangan ini merupakan keturunan golongan elite dari keturunan ningrat maupun pejabat pribumi pada jaman kolonial. Pendekatan perencanan ini dibutuhkan secara simbol politis untuk menunjukan perencanaan kota secara representatif bukan hanya untuk golongan eropa saja. Secara zonasi, pusat kegiatan masih berada pada sekitaran zona utama, yang membedakan hanya besaran skala bangunan dan fasilitas yang didapatkan.

Golongan berikutnya yang terdampak perencanaan kota adalah para keturunan Timur Asing atau yang tidak asing di telinga kita sebagai keturunan China dan Arab. Fasilitas yang diberikan lebih kepada penggunaan zona-zona perdagangan, mulai dari kawasan pelabuhan hingga menuju zona utama, fungsinya lebih kepada menghidupkan sisi perekonomian perkotaan dari sisi supply dan demand kota tersebut, disamping itu pengembangan kawasan ini menjadi penting untuk mendukung eksistensi dan branding kota Jakarta pada jamannya.

Terakhir adalah perencanaan kota dari sisi pribumi, sebagai kasta terbawah, prioritas pembangunan yang terdampak untuk golongan ini tidak menjadi isu utama dan cenderung diperhatikan jika terjadi permasalahan saja. Perencanaan pun hanya mengangkat isu-isu utama saja sebagai contoh sanitasi kawasan tempat tinggal untuk mencegah terjadinya persebaran penyakit tertentu yang akan berdampak pada penggunaan fasilitas kesehatan dan isu perlindungan pada golongan yang bertempat tinggal dan berkegiatan di zona utama.

Aspek perencaan kota selalu menarik untuk dibahas, kompleksitas banyaknya stakeholder yang terlibat dalam pengembangan Jakarta menimbulkan adanya pertanyaan mendasar, yaitu tentang bagaimana dengan pendekatan perencanaan kota Jakarta saat ini, apakah masih menggunakan pendekatan yang sama diperjalanan menuju 73 tahun Indonesia merdeka, atau memang telah ada pelajaran yang diambil dari pendekatan yang sudah dilakukan di jaman kolonial.
Selengkapnya

Sudah Tepatkah Mengatasinya (Banjir Samarinda)?



Farid Nurrahman S.T., MSc.
Ig : @faridnurrahman
Lecturer of Urban and Regional Planning
Kalimantan Institute of Technology

Keresahan warga Samarinda atas bencana banjir yang terjadi beberapa hari terakhir cukup menjadi perhatian berbagai media. Munculnya titik-titik banjir baru semakin membuat masyarakat bertanya-tanya mengapa masalah banjir selalu menghantui.

Berkaca dari indikasi program Pemkot Samarinda 2016–2021, prioritas optimalisasi pengendalian banjir berada di urutan nomor 1. Pada proses penjabarannya, target lima tahun kerja pemerintah kota adalah untuk terlaksananya pengendalian banjir dan relokasi tepi Sungai Karang Mumus (SKM).

Pertanyaannya adalah apa benar relokasi kawasan kumuh tepi SKM dapat mengurangi titik banjir secara signifikan. Faktanya belum ada pembuktian lanjut yang secara nyata menyebutkan perencanaan tersebut akan berdampak positif.

Belum selesai tugas pertama, kini muncul titik-titik baru yang bahkan belum pernah terkena bencana banjir sebelumnya. Jika kita melihat dari sejarah kota, tercatat adanya indikasi banjir 10 tahunan, dimulai 1998, dilanjutkan 2008 dan kini memasuki era 2018.

Persoalan penyebabnya pun berbeda. Mulai aliran tampungan drainase, kurangnya daerah resapan, hingga eksploitasi lingkungan secara besar-besaran. Tercatat pada prioritas program pengendalian banjir Samarinda, ditarget berkurangnya 40 titik lokasi banjir selama lima tahun. Dengan munculnya titik baru, artinya harus ada kajian ulang terhadap perencanaan tersebut.

Pada dasarnya, terdapat tiga siklus penanganan banjir yaitu pencegahan (prevention), penanganan (intervention), dan pemulihan (recovery). Sehingga program prioritas pengendalian banjir yang bersifat berkelanjutan harus mencakup poin pokok tersebut.

Tiga poin penting dalam program prioritas pengendalian banjir yaitu relokasi enam segmen kawasan kumuh SKM, berkurangnya 40 titik lokasi banjir, dan pengamanan jalur hijau bantaran sungai.

Berkaca pada program tersebut, dapat diambil hipotesis, bahwa penanggulangan banjir Samarinda masih berada pada tataran preventif/pencegahan, dan belum memasukan unsur penanganan dan pemulihan.

Pada tahapan penanganan, program yang bisa dijalankan untuk permasalahan ini adalah membuat sistem informasi peringatan dini tentang prakiraan bencana serta titik-titik baru yang akan menjadi lokasi banjir berikutnya.

Jadi, masyarakat terdampak bisa bersiap untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk. Program lainnya yang bisa dikerjakan pemerintah bersama masyarakat yaitu reaksi cepat dan bantuan penanganan darurat seperti penyiapan pompa yang dapat disebarkan ke titik-titik yang memerlukan penanganan ekstra.

Tahap terakhir yaitu pemulihan. Di mana program-program yang dijalankan berkaitan dengan kegiatan sosial seperti memberikan keperluan hidup sehari-hari disertai perbaikan sarana dasar, pembersihan kawasan, rekonstruksi setelah banjir, rehabilitasi, dan pemulihan kondisi fisik/nonfisik.

Dapat dilanjutkan dengan penilaian kerusakan/kerugian setelah banjir. Kemudian melakukan kajian kembali terhadap penyebab terjadinya banjir yang akan dijadikan dasar dan patokan dalam proses perencanaan selanjutnya.

Berkaca pada pengalaman menghadapi banjir selama lebih 20 tahun, masyarakat Samarinda sudah bisa dikatakan memiliki mental baja. Yakni, tahan terhadap bencana, memiliki toleransi tinggi, tidak terlalu banyak protes, dan selalu menerima keadaan pemerintahannya. Harapannya, itu bukan berarti selalu menjadi korban karena ketidaktepatan perencanaan.

Republish : kaltimprokal.com (24/03.18)
Selengkapnya

Sunday, March 18, 2018

Menyoal Banjir Kota Makassar

Penulis : Ilham Azhari Said, S.PWK, Ketua Mahasiswa Pembangunan Indonesia Sulawesi Selatan

Beberapa hari terakhir, daerah Sulawesi Selatan, khususnya Kota Makassar terus menerus diguyur hujan. Akibatnya, beberapa ruas jalan serta beberapa titik-titik permukiman warga terendam banjir. Intensitas hujan yang tergolong cukup tinggi tentunya tak bisa dihindarkan sekaligus tak bisa dikesampingkan sebagai penyebab terjadinya banjir. Ya, setidaknya itulah yang menjadi pandangan umum di kalangan masyakat, bahwa banjir disebabkan karena hujan. Lalu pertanyaannya, sudahkah tepat jika persoalan banjir tidak lain dan tidak bukan hanyalah persoalan intensitas hujan? Tentunya, jika kita coba untuk mendalami, persoalan banjir bukan hanya sekedar intensitas hujannya, akan tetapi lebih kepada bagaimana kita mengelola air hujan dengan baik dan benar.

Banjir tentunya sangat meresahkan. Banjir tidak melihat kalangan. Banjir juga bisa merugikan siapa saja. Betapa tidak, begitu banyak aktifitas warga yang terhambat akibat terjadinya banjir. Semua pikiran dan konsentrasi seperti hanya terfokus kepada bagaimana mengatasi serta menghindari banjir. Alhasil, begitu banyak orang yang seolah mengutuk banjir, sekaligus mengutuk pihak-pihak tertentu akibat banjir yang dari tahun ke tahun terus terjadi bahkan terkesan semakin menjadi-jadi. Tentunya, ini menjadi catatan penting bagi kita semua, khususnya bagi para pemangku kebijakan. Perlu kita sadari serta mengakui, bahwa Kota Makassar hari ini tengah mengalami ketidakmampuan untuk mengimbangi intensitas hujan yang tergolong cukup tinggi.

Maka dari hal tersebut, ketidakmampuan kota itulah yang perlu dibenahi. Hal tersebut tentunya dapat dimulai dari perbaikan sistem drainase yang ada (jangka pendek). Secara keseluruhan, kita memang memiliki sistem drainase yang tergolong buruk. Mulai dari volume drainase yang tidak proporsional, sampai kepada saluran drainase yang terkesan semrawut. Tidak proporsionalnya volume drainase dapat kita tinjau dari aspek klimatologi (intensitas curah hujan sebagai negara tropis). Jika kita telah mengetahui bahwa kita hidup di wilayah dengan musim penghujan, maka sudah seharusnya kita membuat drainase yang siap menampung air hujan. Bukan justru membuat drainase dengan volume seadanya. Belum lagi bahwa drainase tidak hanya berfungsi untuk menagkap air hujan secara langsung, tetapi juga berfungsi untuk menangkap air hujan yang mengalir dari jalan. Olehnya itu, volume drainase tentunya juga harus mempertimbangkan aspek lebar jalan.

Masih soal drainase, bahwa drainase yang terbilang buruk juga dapat dilihat dari saluran drainase kita yang begitu semrawut. Bahkan hal tersebut semakin diperparah akibat masih disatukannya antara saluran limbah dan saluran drainase. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan karena kita memang masih minim pada persoalan infrastruktur. Kembali ke persoalan saluran drainase, begitu banyak drainase lingkungan di lorong-lorong yang tidak mengalir dengan baik ke drainase utama, bahkan bisa dikatakan terputus alirannya ke drainase utama. Tidak hanya dari drainase lingkungan ke drainase utama, bahkan aliran dari drainase utama ke muara terakhir seperti ke sungai dan/atau ke laut juga ikut terhambat (bisa jadi karena adanya kegiatan reklamasi dsb). Padahal secara mendasar, drainase dibuat untuk mengalirkan air secara cepat. Sebab jika tidak, maka debit air akan semakin meningkat. Dengan demikian, sudah barang pasti ketika hujan turun dengan intensitas tinggi, maka akan terjadi overload yang secara otomatis akan mengakibatkan genangan bahkan banjir sekalipun.

Selain perbaikan sistem drainase, Kota Makassar juga perlu solusi jangka panjang dalam hal mitigasi bencana banjir. Konsistensi terhadap penataan ruang yang berkelanjutan adalah jalannya. Kota Makassar begitu kekurangan daerah resapan air, seperti Ruang Terbuka Hijau (RTH) dsb. Pada akhir tahun 2016 yang lalu, DPRD Kota Makassar mengklaim bahwa RTH di Kota Makassar baru mencapai sekitar 9% saja. Hal ini tentunya sangat jauh dari apa yang disyaratkan oleh Undang-undang Penataan Ruang, yakni sebanyak 30% dari total luas wilayah. Kota Makassar sudah harus membudayakan hidup vertikal, sehingga keberadaan lahan yang statis dapat digunakan secara efektif dan seefisien mungkin, guna meminimalisir pemanfaatan lahan terbangun sehingga peluang untuk terciptanya RTH lebih besar.

Nah, berdasarkan beberapa uraian di atas, maka kurang tepat jika dikatakan bahwa banjir yang terjadi di Kota Makassar itu akibat adanya air kiriman dari daerah tetangga, seperti Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros dsb. Ini tidak lebih dari sekedar permasalahan di Kota Makassar itu sendiri. Terlebih jika kita tinjau dari karakteristik wilayah di Kota Makassar, Makassar mempunyai karakteristik yang cenderung sama dengan karakteristik di wilayah Kabupaten Gowa dan juga Kabupaten Maros. Tingkat topografi Kota Makassar, Kabupaten Gowa serta Kabupaten Maros berada pada kisaran 0-30 meter di atas permukaan laut (Mdpl). Sehingga untuk menjadi daerah tangkapan air (daerah cekungan) bagi wilayah-wilayah di sekitarnya, Makassar masih sangat jauh. Sebab Makassar, Gowa dan juga Maros memiliki tipologi wilayah yang masih cenderung sama.

Republish dari suaracelebes.com (22/12/17)

Selengkapnya

Wednesday, March 14, 2018

Tata Ruang, Sebetulnya Untuk Siapa? (Upaya Penegasan Hak Rakyat dalam Regulasi Penataan Ruang)




Oleh : Mohammad Muttaqin Azikin*

Sejatinya setiap kota maupun wilayah, sudah menjadikan rencana tata ruang sebagai panduan serta pedoman dalam melaksanakan pembangunan daerahnya. Namun, terkadang pemerintah daerah sendiri yang tidak menjalankan aturan dan regulasi penataan ruang tersebut bahkan seringkali melanggarnya. Tulisan ini dimaksudkan sebagai langkah sosialisasi dan upaya menegaskan hak-hak rakyat atau masyarakat yang tertuang dalam Undang-Undang Penataan Ruang (UU. No.26/2007) dan juga sebagian regulasi yang terkait.

Rencana Tata Ruang, Mengapa Disembunyikan?

Prof. Ir. Eko Budihardjo, Msc, mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang, pernah menyebutkan bahwa perkembangan suatu kota tentu saja tidak dapat dihambat, karena pada hakikatnya kota merupakan “the single most complex product of the human mind.” Kota dapat diibaratkan bagaikan jasad hidup yang akan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan masalahnya, atau sejalan dengan penanggulangan kendalanya. Mencegah manusia untuk tidak lagi berbondong-bondong menyerbu kota, merupakan tindakan sia-sia. Mereka memiliki insting dan tekad yang kuat untuk meningkatkan taraf hidup mereka masing-masing. Dengan demikian, yang terpenting adalah bagaimana mengelola kota dengan penataan ruang kota  yang lebih adil dan demokratis.

Selama ini, yang jadi persoalan, karena rencana tata ruang yang ada hampir tidak ada yang pernah dipublikasikan dan disosialisasikan sebelum dikerjakan. sehingga masyarakat kurang mengerti seperti apa tata ruang itu dan untuk apa direncanakan. Dokumen rencana tata ruang ibarat dokumen rahasia yang sulit dibuka. Padahal dalam UU Penataan Ruang, Pasal 60 disebutkan bahwa,  setiap orang berhak untuk mengetahui rencana tata ruang. Demikian juga pada Pasal 2 huruf e, yang menjelaskan maksud asas ‘keterbukaan’ bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang.

Karena keterbukaan informasi mengenai tata ruang ini sangat minim dan hanya diketahui oleh kalangan tertentu saja, maka berpotensi memunculkan berbagai persoalan yang akan dihadapi oleh masyarakat. Sebagian dari persoalan tersebut antara lain; munculnya mafia pertanahan, tanah milik rakyat yang harus dijual murah dengan dalih untuk kepentingan umum, disebabkan masuk dalam kawasan perencanaan, dan berbagai potensi masalah yang lain, di mana pada gilirannya dapat menimbulkan resistensi dari masyarakat.

Meskipun begitu, dalam konteks masalah seperti digambarkan, rakyat atau masyarakat masih memiliki hak untuk  menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang serta memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. (Pasal 60 huruf b dan c). Bagaimana dengan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayah kita dan sekaligus juga menimbulkan kerugian? Rakyat atau masyarakat, dapat mengajukan keberatan terhadap pembangunan tersebut, dapat mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan serta dapat mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pejabat yang berwenang, pemerintah dan/atau pemegang izin. (Pasal 60 huruf d,e dan f).

Tata Ruang Buat Seluruh Masyarakat

Terkait dengan tata ruang kita, dalam kenyataan menunjukkan bahwa kebanyakan – ada mengatakan lebih dari 80% - rencana kota yang telah disusun, ternyata tidak dapat terlaksana sebagaimana yang direncanakan. Adanya kesenjangan yang lebar antara idealisme, harapan dan teori dengan pragmatisme, kenyataan, praktek dan implementasinya, merupakan masalah utama dalam tata ruang kota. Penyebab pokok dari masalah tersebut antara lain adalah kurangnya peran serta aktif dari masyarakat luas dalam proses pembangunan kota. Nah, keterlibatan secara aktif dari masyarakat tidak mungkin terjadi manakala mereka kurang mengerti seperti apa posisi yang harus dilakukannya terkait dengan pembangunan dan penataan ruang kota.

Padahal, pada Pasal 65 ayat 2, dengan jelas menyebutkan peran serta masyarakat pada seluruh tahapan penyelenggaraan penataan ruang. Pelibatan tersebut dilakukan mulai dari penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, maupun pada tahap pengendalian pemanfaatan ruang. Didukung lagi dengan aturan yang lebih rinci melalui PP. No.68 tahun 2010 mengenai Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang, serta Permendagri No. 56 tahun 2014 tentang Tata Cara Peran Masyarakat dalam Perencanaan Tata Ruang Daerah.

Pada penyusunan tata ruang kota – dalam ungkapan Eko Budihardjo – sering terlupakan bahwa antara warga/masyarakat dengan kotanya adalah ibarat siput dengan cangkangnya. Istilah City dan Citizen menunjukkan betapa erat keterkaitan antara keduanya. Namun, karena tata ruang kota seringkali dibuat secara deterministik, maka tak pelak lagi melahirkan rencana yang serba seragam. Keragaman manusia menjadi terabaikan. Para pengelola dan penyelenggara pembangunan kota, cenderung lebih mendambakan terciptanya kota yang indah dengan memanfaatkan teknologi tinggi dan perangkat keras yang kontemporer. Padahal sesungguhnya mereka harus lebih mementingkan terciptanya kota yang manusiawi, dengan ada sentuhan rasa yang penuh kepekaan.

Demikianlah sekelumit dari regulasi yang berkaitan dengan penataan ruang, yang bisa penulis bagikan, agar supaya masyarakat secara luas dapat mengerti kedudukannya. Tujuan-tujuan ideal yang terkandung dalam UU No. 26 tahun 2007, sepertinya masih sulit dicapai, di samping juga kualitas pekerjaan penyusunan tata ruang seringkali masih jauh dari harapan-harapan sebagaimana yang diinginkan. Tetapi pada akhirnya, pemerintah yang diberikan tugas dan wewenang sebagai penyelenggara penataan ruang, perlu memastikan bahwa pekerjaan tersebut betul-betul diperuntukkan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 7 ayat 1), bukan untuk kepentingan penguasa dan pengusaha semata, bukan pula untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu saja. Sebab, asas ‘perlindungan kepentingan umum’ (Pasal 2 huruf g), menegaskan bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Wallahu a’lam bisshawab.

* Pengurus Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Sulawesi Selatan, Peneliti pada Ma’REFAT INSTITUTE (Makassar Research for Advance Transformation) Sulawesi Selatan serta Lembaga Inisiasi Lingkungan & Masyarakat (LINGKAR).
Selengkapnya