Monday, October 16, 2017

Mampukah Pembangunan Infrastruktur Mewujudkan Pemerataan Kesejahteraan Sosial?


Oleh : Despry Nur Annisa Ahmad

Infrastruktur menurut American Works Assosiation adalah fasilitas-fasilitas fisik yang dikembangkan atau dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk fungsi-fungsi pemerintahan dalam penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan limbah, transportasi dan pelayanan-pelayanan similar untuk memfasilitasi tujuan-tujuan sosial dan ekonomi (Stone, 1974 dalam Kodoatie, 2005). Jika pengertian infrastruktur ini disubtitusikan ke dalam ilmu perencanaan dan skematik keruangan, infrastruktur merupakan struktur ruang yang menjadi subsistem dari sistem tata ruang.

Ruang menurut Lefebvre (1996) dalam Surya (2015) dapat memainkan beragam peran. Pertama, ia dapat menjalankan peran salah satu dari begitu banyak kekuatan produksi. Kedua, ia dapat beragam komoditas yang dikonsumsi atau ia dapat konsumsi secara produktif. Ketiga, secara politis ia penting dalam memfasilitasi kontrol sistem. Keempat, ruang memperkuat reproduksi hubungan produktif dan hak milik. Kelima, ruang bisa berbentuk suprastruktur yang terlihat netral namun menyembunyikan basis ekonomi yang memunculkannya dan yang jauh dari netral. Berdasarkan kelima sudut pandang Lefebvre ini tentang ruang, maka disimpulkan bahwa tata ruang adalah leading sector pembangunan.

Tata ruang sebagai leading sector pembangunan seharusnya terus diupayakan menjadi payung utama dalam menentukan justifikasi perencanaan maupun pemanfaatan struktur dan pola ruang. Hal ini perlu dilakukan agar tercipta ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan (sebagaimana amanat UU 26 Tahun 2007) di negeri ini.

Membahas infrastruktur dari sudut pandang seorang planner tentu tak dapat berlepas diri begitu saja dari teori-teori pengembangan wilayah, perubahan struktural, maupun disparitas regional. Tak hanya itu, skematik pembangunan infrastruktur juga sangat dipengaruhi oleh sistem politik, sistem ekonomi, terlebih lagi pada konsistentsi -ideologi- yang diemban oleh sebuah negara.


Pembangunan infrastruktur di Indonesia saat ini merupakan sasaran prioritas pembangunan Pak Jokowi dan itu akan berlanjut pada sasaran prioritas 2018. Target dari prioritas pembangunan infrastruktur untuk mewujudkan konektivitas antarwilayah, mendukung pertumbuhan ekonomi, menyerap tenaga kerja, mengurangi kemiskinan dan ketimpangan (Gambar 1).



Gambar 1. Infografis Pembangunan Infrastruktur
(Sumber: www.kominfo.go.id dalam katadata.co.id, 2017)

Terkait infrastruktur yang saat ini menjadi prioritas dalam proses realisasinya, Pak Bernardus sebagai Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana pernah memberikan pendapat beliau dalam bentuk tulisan yang berjudul "Tantangan Tata Ruang dalam Nawacita" di harian kompas beberapa waktu lalu. Beliau memaparkan bahwa, "Tata ruang Indonesia dalam prosesnya kerap meninggalkan dimensi kemanusiaan, karena lebih fokus pada konektivitas –infrastruktur-. Ini yang saya sebut sebagai dehumanisasi perencanaan, yang apabila -dibiarkan- akan menghasilkan ruang-ruang yang tidak layak huni karena menerobos daya dukung lingkungan (carrying capacity), delineasi ekoregion, dan optimasi ruang" Pendapat beliau ini mengindikasikan bahwa percepatan pembangunan infrastruktur yang diprioritaskan saat ini memberikan ancaman implikasi negatif pada aspek sosial. Memang sudah bukan hal yang baru bagi seorang planner dalam mengindera fenomena pembangunan saat ini yang tak jarang menimbulkan permasalahan baru berupa dehumanisasi.

Menurut penulis, dehumanisasi terjadi karena pembangunan infrastruktur akan menjadi pintu gerbang berlangsungnya konversi lahan secara masif akibat terbentuknya konektivitas baru yang menimbulkan bangkitan maupun tarikan dalam suatu kawasan. Ketika konversi lahan semakin masif, maka inilah yang tak jarang melahirkan kaum marginal akibat kapital yang memenangkan pertarungan lahan. Ketika lahan berhasil dikuasai lagi oleh para kapital, kesejahteraan sosial pasti sangat sulit tercapai. Hal tersebut dapat kita lihat dari data rasio gini Indonesia selama 2 dekade.

Badan Pusat Statistik menyajikan data bahwa rasio gini Indonesia sejak 2007 hingga Maret 2017 menujukkan koefisien angka 0,35 sampai 0,39. Kemudian pada tahun 1990-2000 world bank juga menyajikan data rasio gini Indonesia memiliki nilai koefisien 0,30 sampai 0,39. Semakin nilai koefisien rasio gini itu menuju angka 1, maka itu adalah zona kesenjangan yang perlu diwaspadai sebab nilai koefisien rasio gini ideal adalah semakin mendekati angka 0. Berdasarkan hal ini, penulis menilai bahwa prioritas pembangunan infrastruktur bukan menjadi sesuatu yang urgent dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial secara merata.

Lebih lanjut, sajian data tren rasio gini ini membuat penulis berpikir bahwa, “selama 2 dekade pembangunan infrastruktur di negeri ini terus berlangsung meskipun terjadi pergantian presiden. Tapi mengapa data rasio gini ini justru menunjukkan pembangunan infrastruktur yang dilakukan secara terus menerus ternyata belum mampu mengatasi ketimpangan dan bahkan kesenjangan masyarakat semakin meningkat? Saya mengindera bahwa terjadi sebuah kesalahan sistemik dalam hal ini. Karena selama 2 dekade itu, Indonesia sudah dipimpin oleh 6 presiden sekaligus dengan berbagai program pembangunan namun pada kenyatannya belum mampu mewujudkan kesejahteraan sosial secara merata.”

Pemikiran penulis semakin bertambah liar ketika melihat fakta bahwa potensi sumberdaya alam negeri ini super melimpah tapi kesenjangan sosial terjadi. Bahkan berdasarkan hasil analisa Prof. Ing. Fahmi Amhar dalam http://jurnal-ekonomi.org/mencoba-meramu-apbn-syariah/, dinyatakan bahwa pengelolahan sumber daya alam Indonesia jika dikelolah secara mandiri akan menghasilkan Rp 999 triliun pertahun. Belum lagi ditambah pengelolaan sektor lainnya. Artinya, untuk mewujudkan kesejahteraan sosial secara merata bagi negeri ini bukanlah sebuah ilusi. Negeri ini juga tidak perlu cari investor ke negeri luar untuk minta bantuan dana pembangunan. Karena melanggengkan investasi asing itu juga melanggengkan penjajahan.

Masih terkait dengan sumberdaya alam yang melimpah, ada sebagian orang yang menilai bahwa negeri ini kekurangan sumberdaya manusia dalam mengelola sumberdaya alam. Pendapat inilah yang kemudian dilegalkan untuk meniscayakan perlunya import bahkan sampai memfasilitasi sumberdaya manusia dari luar untuk mengelola sumberdaya alam negeri ini.

Namun bagi penulis, negeri ini tidak kekurangan orang-orang cerdas dalam mengelola sumberdaya alam. Negeri ini hanya tidak percaya penuh pada kualitas anak bangsa sendiri. Ini bisa kita lihat dari betapa banyak ilmuwan pribumi yang cerdas tapi lebih memilih tinggal di negeri luar untuk terus mengembangkan risetnya. Selain itu, riset-riset ilmiah anak bangsa kerap kali dijadikan sebagai ‘pajangan’. Jangankan riset, produk Rencana Tata Ruang Wilayah saja yang notebenenya dokumen sakral sebelum melakukan proyek-proyek pembangunan, hampir sering tidak diindahkan arahannya. Kadangkala, keterbatasan dana seringkali dijadikan alasan. Padahal hasil analisa yang telah dilakukan oleh Prof. Fahmi dalam jurnal ekonomi beliau yang berjudul “Mencoba Meramu APBN Syariah”, kita mampu mandiri. Negeri ini mampu mandiri jika Asing-Aseng tidak mengintervensi kita.

Melihat realitas ini semua, penulis semakin yakin bahwa memang sedang terjadi kesalahan sistemik di negeri ini. Kemudian sebuah pertanyaan sederhana dari penulis pun muncul, sistem apakah yang selama ini diterapkan oleh negara ini?

Berdasarkan hasil penelusuran penulis, Indonesia selama ini menerapkan sistem kapitalisme. Secara umum, orang-orang mengetahui bahwa kapitalisme ini adalah sistem ekonomi semata. Tapi bagi penulis, sistem kapitalisme bukan sebatas sistem ekonomi. Lebih dari itu, kapitalisme adalah sebuah ideologi global ganas karena ia secara asasnya telah rusak dan sifatnya juga merusak manusia yang mengembannya. Sebelum terlalu jauh memaparkan tentang kapitalisme ini, definisi ideologi dalam tulisan ini perlu ditegaskan agar pembaca bisa satu arah dengan pembahasan lanjutan dari penulis.   

Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqies dalam Wijianto (2004), ideologi merupakan sistem berpikir yang dimulai dari tataran nilai dan prinsip dasar yang kemudian dikembangkan hingga praktis operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebuah ideologi itu memiliki ide dasar dan dari ide dasar itu melahirkan sistem (aturan) sebagai metode untuk penerapannya.

Selanjutnya, penulis kembali melanjutkan pembahasan tentang kapitalisme. Ideologi kapitalisme adalah ideologi yang berasal dari Eropa. Kelahiranya disebabkan karena adanya penindasan kaum gereja terhadap rakyat, kaum gereja acap kali menjadikan nama tuhan untuk mengambil semua kebijakanya. Kebijakan tersebut sering sekali merugikan banyak rakyat, seperti pengambilan pajak terhadap rakyat mereka gunakan nama tuhan, untuk menentukan ilmu pengetahuan kaum gereja juga mengatasnamakan tuhan, hal itu terus terjadi sehingga rakyat banyak yang menderita dan akhirnya kebijakan gereja mendapat perlawanan oleh rakyat yang menyebabkan kaum gereja dilarang untuk mengatur urusan dunia. Kaum gereja hanya mengatur urusan gereja saja. Ide inilah yang kemudian melahirkan sebuah ide dasar bernama sekulerisme yaitu pemisahan antara kehidupan dan agama. Sekulerisme inilah yang menjadi ide dasar dari ideologi kapitalisme.

Karena ide dasarnya adalah sekulerime, maka seluruh perbuatan manusia tidak lagi diatur oleh tuhan melainkan diatur sebebas-bebasnya oleh manusia sehingga dikenal pula adanya kebebasan (Freedom). Inilah yang menjadikan metode ideologi ini untuk berbuat sekehendak manusia. Atas nama kebebasan, tidak perlu lagi mementingkan apa dan bagaimana manusianya maju dan sejahtera secara merata. Atas nama kebebasan, negara yang menjadi pengembang ideologi ini juga tidak merasa bersalah ketika menjajah seluruh negeri-negeri yang ada di dunia. Itulah kapitalisme yang menjadi ideologi terkuat di zaman sekarang. Ideologi ini dipimpin oleh Amerika dan negara-negara sekutunya. Dan saat ini negeri kita dijajah secara psikis oleh kapitalisme.

Terkait dengan prioritas pembangunan infrastruktur, pada dasarnya saya sangat setuju akan keberlangsungan proyek ini dalam mewujudkan kesejahteraan sosial secara merata. Namun titik tekannya, kita harus berdaulat terlebih dulu tanpa intervensi asing. Maka saat ini yang harus dilakukan adalah fokus pada memikirkan pergantian –sistem- pengaturan kehidupan dalam bernegara. Karena masalah utama dan paling urgent yang dialami negeri ini adalah salah memilih sistem kehidupan bernegara. Salah memilih sistem pengaturan kehidupan bernegara sangat berimplikasi pada turunan sub sistem pengaturan sektor lainnya.

Lantas, sistem seperti apakah yang cocok diterapkan di negari ini? Penulis menawarkan solusi sistem Islam. Tak banyak ilmuwan bahkan masyarakat umum yang mengetahui bahwa Islam ini merupakan sebuah ideologi global juga. Kebanyakan hanya menganggap bahwa Islam hanya sebatas agama yang sejajar dengan agama-agama lainnya. Padahal, lebih dari itu. Islam adalah agama sekaligus ideologi global yang berasal dari wahyu. Karena Islam ternyata sebuah ideologi, maka tentunya Islam juga memiliki ide dasar dan sistem aturan sebagai metode penerapannya.

Dalam konteks ide dasar, Islam mengajarkan asal muasal seluruh alam, manusia dan kehidupan berasal dari Sang Pencipta. Sederhananya, ide dasar islam adalah tauhid (meyakini bahwa Allah SWT itu ESA).

Mengenai solusi atas seluruh problem kehidupan manusia, Islam mendasarkan solusinya pada keterikatan kepada hukum Sang Pencipta yang terdiri dalam aturan ekonomi, pemerintahan, politik, sampai pada tataran hukum peradilan. Dalam konteks ekonomi, Islam mensyari’atkan hukum-hukum mengenai masalah kepemilikan, pengelolaan, dan distribusi, serta, hukum-hukum yang menyangkut mekanisme memiliki dan mengembangkan harta. Dalam konteks politik dalam negeri, Islam telah mewajibkan diberlakukannya seluruh hukum Islam kepada rakyat. Sedangkan dalam konteks politik luar negri, Islam telah memberlakukan hukum-hukum jihad. Dalam masalah sangsi hukum, Islam memiliki sangsi yang tegas. Dengan demikian seluruh problem kehidupan manusia secara umumnya, bisa dipecahkan oleh Islam. Tak terkecuali dengan yang sedang terjadi di negeri kita saat ini.

Adapun sudut pandang Islam terkait pembangunan infrastruktur, Islam menempatkan pada posisi yang tepat. Perlu kita pahami bersama bahwa ruhnya Islam ketika diemban sebagai sebuah ideologi akan menstimulus pengembannya (khususnya pemimpin) untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits Rasulullah Saw berikut.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ » رواه مسلم

Terjemahan:

Hadits riwayat Abu Hurairah رضي الله عنه: ia berkata: Dari Nabi صلی الله عليه وسلم beliau bersabda: Sesungguhnyalah seorang pemimpin itu merupakan perisai, rakyat akan berperang di belakang serta berlindung dengannya. Bila ia memerintah untuk takwa kepada Allah azza wa jalla serta bertindak adil, maka ia akan memperoleh pahala. Namun bila ia memerintah dengan selainnya, maka ia akan mendapatkan akibatnya.” (HR.Muslim)
Syarah dari hadits tersebut menurut pendapat Imam An Nawawi rahimahullah adalah:
Seorang imam (pemimpin) adalah perisai yang digunakan untuk berlindung. Dikatakan demikian karena seorang imam berfungsi mencegah (serangan) musuh yang mengganggu, dan menghalangi kedholiman sebagian orang kepada yang lainnya, menjaga kemuliaan diin dan masyarakat berlindung kepadanya serta takut akan kekuasaannya.

Jika mensubtitusikan seruan hadits ini ke dalam pembangunan infrastuktur, kedudukan infrastruktur akan ditempatkan berdasarkan tingkat kebutuhan masyarakat. Jika infrastuktur itu memang diperlukan untuk kemaslahatan masyarakat, maka itu akan dipertimbangkan dalam prioritas pembangunannya. Disinilah juga dibutuhkan peranan sinergi para ilmuwan dalam mengaktualisasikan segala hasil risetnya dalam mendukung terwujudnya kesejahteraan sosial secara merata.

Mungkin ada dari pembaca yang menganggap bahwa pembahasan infrastruktur terlalu jauh jika dikaitakan dengan ideologi. Namun bagi penulis, secanggih apapun teknologi yang kita miliki dan secerdas bagaimanapun otak kita dalam merumuskan pembangunan negeri ini untuk mewujudkan perekonomian sehat dan kesejahteraan sosial, itu tidak akan terwujud ideal jika sistemnya masih sistem kapitalisme yang sedari asasnya sudah rusak.

Segala problematika ruang yang terjadi di negeri kita saat ini disebabkan oleh kesalahan sistemik. Maka solusi yang ditawarkanpun harus bersifat sistemik bukan yang bersifat parsial. Dan hanyalah Islam yang mampu menjawab masalah ini sebab Islam adalah ajaran -wahyu- yang tidak hanya mengatur tentang urusan ritual saja. Ajaran Islam turun ke muka bumi ini -melengkapi- ajaran sebelumnya untuk memberikan arahan aturan secara detail tentang zona-zona sosial untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia agar bisa hidup sesuai fitrahnya bukan hidup seperti zombie (seperti yang tampak sekarang ini). Jadi bagi penulis, masyarakat perlu disadarkan secara masif akan bahaya kapitalisme ini dan mengarahkannya pada solusi Islam karena hanya Islamlah Ideologi yang dijamin 100% kebenarannya.

Semoga tulisan ini bisa menjadi wadah silah ukhuwah sekaligus pemantik untuk berpikir bersama dalam merespond huru hara sistemik yang berlarut-larut di negeri ini. Penulis juga menyadari bahwa tulisan ini masih sangat dangkal dan banyak sekali kekurangannya. Olehnya itu tanggapan, saran, dan kritik sangat penulis nantikan. Semoga Allah selalu beri kita hidayah dan taufiqNya. Aamiin...

Salam ukhuwah para planner ! 
Selengkapnya

Saturday, October 7, 2017

Quo Vadis Makassar Menuju Kota Dunia?




Masih terasa hangat bagi masyarakat Kota Makassar, euforia dari gemerlapnya pelaksanaan kegiatan F8 yang telah menyihir jutaan penduduk Kota Makassar, melalui gerak indah tradisi berbagai kebudayaan Bugis-Makassar. Dimulai dari lezatnya jajanan kuliner khas Kota Daeng yang disuguhkan, hingga berbagai seni pertunjukan yang memanjakan mata, telinga, dan perasaan kita. Kegiatan ini juga tidak hanya menghadirkan pertunjukan budaya dari daerah saja, tapi bahkan cahaya gemerlapnya diterangi dengan penampilan seniman  dari berbagai penjuru dunia, yang membuat kita seharianpun tak merasa jenuh bahkan sampai lupa waktu dibuatnya. Beranjak dari sinilah, sang dirigen Kota Makassar, dalam hal ini Walikota Makassar, membuktikan kepada masyarakat luas, bahwa Kota Makassar akan menjadi Kota Dunia, seperti yang beliau idam-idamkan hingga hari ini.

Terlepas dari itu, secara terminologi, Kota Dunia sama sekali tidak memiliki indikator yang jelas secara bentuk. Bahkan, dalam sebuah kesempatan diskusi mengenai Kota Dunia, sang dirigen mengatakan hal yang sama, ditambahnya bahwa sebuah bentuk pengakuan dunia terhadap Kota Makassar, sudah cukup membuktikan bahwa Kota Makassar telah menjadi Kota Dunia, ungkapnya. Oleh karena itu, bila ditanya tentang kemana atau akan kemana Makassar Menuju Kota Dunia, dalam sebuah kesempatan diskusi “Quo Vadis Makassar Menuju Kota Dunia”, saya menjawab hal yang serupa.

Akan tetapi, bilamana mencari potret Kota Dunia, seperti apa dan bagaimana ia, tentu kita bisa saja berspekulasi dalam hal tersebut. Kita bisa memulainya dari pengertian kota itu sendiri. yang dalam kamus tata ruang dijelaskan bahwa ia merupakan daerah pemusatan penduduk (heterogen) dengan kepadatan tinggi ditunjang dengan infrasturuktur yang lengkap dan sebagian besar penduduknya bekerja di luar pertanian. Sedangkan kata dunia adalah sebuah nama umum yang digunakan untuk menyebut keseluruhan peradaban manusia, pengalaman manusia, sejarah atau kondisi manusia secara umum di seluruh Bumi. Oleh karenanya, menarik benang merah dari kedua pengertian tersebut. Maka kota dunia ternyata adalah suatu daerah yang harus dapat mengakomodir  keanekaragman karakter manusia didalamnya, serta dari sana kemudian menciptakan suatu peradaban yang bermanfaat bagi pengalaman mansuia, menjaga serta tidak lupa meninggalkan sejarah yang dapat menjadi pembelajaran bagi segenap umat manusia.

Kota Dunia, Kota Kebersamaan

Dalam frame yang lebih dekat, kota sejatinya telah berkamuflase menjadi sebuah mini dunia, yang didalamnya terdapat beranekaragam suku, dan karakter manusia. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sebuah forum dunia mengeluarkan hasil penelitian mereka yang menyebutkan bahwa saat ini sebesar 54 persen penduduk dunia tinggal di kota-kota, dan pada tahun 2050, angka tersebut akan meningkat menjadi 66 persen. Ini berarti, semakin hari, dunia telah mengkota seiring dengan semakin besarnya laju urbanisasi di Kota-Kota besar, yang pada akhirnya membentuk big prular pada tataran masyarakat. Dengan begitu, menciptakan ruang yang berkeadilan untuk semua adalah tantangan pemerintah hari ini dan yang akan datang untuk dapat serta merta merangkul seluruh elemen masyarakat pada berbagai kelas melalui perencanaan pembagunan yang dapat menyatukan kebersamaan sosial. Seperti penggunaan transportasi publik pada masyarakat, ruang taman bermain untuk tumbuh kembang anak (melatih sikap sosial sedari dini), ruang terbuka hijau, ruang pertunjukan seni dan kebudayaan, serta berbagai peran suprastruktur dalam menciptakan linkungan perkotaan yang sedemikian rupa.

Kota Dunia, Kesederhanaan yang Mewah

Era postmodern telah membawa perubahan besar pada paradigma pembangunan kota, melalui keterbukaan dan kecepatan informasinya, ia telah merevolusi cara pandang kita terhadap dunia melalui kacamata global. Sehingga, ruang-ruang yang dalam skala besar seperti Negara hingga ruang-ruang terkecil yaitu ruang rumah tangga, semuanya telah terkontaminasi dengan gaya modernisasi. Dampaknya, tergeruslah warna kebudayaan yang ada pada suatu wilayah, dan jadilah kota-kota di Indonesia secara seragam memiliki karakteristik bangunan yang sama diikuti dengan gaya hidup yang jauh dari kata kearifan lokal. Padahal kenyataannya bila melirik bagaimana kota-kota seperti di Negara Mesir, Spanyol, dan China yang dikenal memiliki kota-kota dengan predikat kelas dunia, sejatinya hal tersebut bersumber pada bagaimana kebudayaan mereka melahirkan suatu peradaban yang dikenal dunia. Seperti landmark pirmadia di mesir, teknik pertanian tradisional di spanyol, hingga ramuan obat tradisional di china.

Kita bisa belajar dari cerita menarik pada sebuah tulisan “bahaya sabunisasi di Papua” yang ditulis oleh Butet Manurung dalam kolom mojok.com. Dari pengalamannya di tanah papua, ia menceritakan tentang bagaimana dampak modernisasi yang tidak hanya menggerus praktik kuno pada masyarakat, lebih dari itu ternyata  modernisasi juga telah memiskinkan masyarakat secara tidak langsung. Cerita ini terletak di salah satu desa di papua yang masyarakatnya sedang mencoba menggunakan sepatu untuk berjalan dan berburu kedalam hutan, melalui sebuah program “penyepatuan” yang dilakukan oleh sekelompok donatur. Alhasil, selama empat tahun program berjalan, masyarakat di desa tersebut kemudian menuntut donatur sepatu, ini dikarenakan setelah mereka memakai sepatu tersebut selama bertahun-tahun hingga menjadi rusak, telapak kaki masyarakat tersebut kemudian lama-kelamaan menjadi lembut, sehingga apabila berjalan di tanah Papua tanpa sepatu, mereka akan merasa kesakitan. Hal ini sangat berbeda, sebelum mereka mengenal sepatu, menjadi ketergantungan, dan membutuhkan biaya tambahan untuk membeli sepatu, yang sebenarnya didalam masyarakat rimba tidak membutuhkan itu, karena telapak kaki mereka secara alamiah telah menyesuaikan dengan morfologi yang ada didalam hutan. Dari sini kita melihat, bagaimana kemudian kita terperangkap pada cara-cara baru yang sebenarnya tidak sesuai dengan "Kita" sebagai Indonesia.

“Di dunia ini, yang paling dapat bertahan bukanlah ia yang paling kuat, melainkan ia adalah yang dapat beradaptasi dengan keadaan yang ada”. Mungkin ini adalah salah satu semboyan yang dapat menggambarkan bagaimana cerita masyarakat papua yang dipaksa untuk menggunakan sepatu oleh donatur program “penyepatuan” masyarakat pedalaman, yang pada akhirnya tidak relevan dengan lingkungan sehari-hari tempat masyarakat tersebut tinggal. Kegagalan tersebut adalah bentuk dari kekeliruan dalam menempatkan posisi kita pada lingkungan mana sebenarnya kita sedang berada.

Sejarah dunia mencatat, runtuhnya kota-kota besar di dunia, selain karena perebutan kekuasaan, juga dikarenakan kesalahan menyesuaikan antara tujuan arah pembangunan kota dengan lingkungan yang sedang mereka hadapi. Seperti pada Kota Angkot War yang pernah menjadi pusat pra-industri terbesar di dunia antara abad ke-9 sampai 15. Sebagai kebanggan dan lambang kekuasaan Kekaisaran Khmer, kota ini terkenal dengan kekayaan yang melimpah, warisan seni dan arsitektur yang mewah, jaringan saluran air yang canggih, serta waduk yang dioptimalkan untuk menyimpan air hujan untuk musim kemarau.

Namun, pada abad ke-15, Kota menakjubkan ini dipenuhi limbah akibat eksploitasi lingkungan berlebih dan krisis air yang disebabkan oleh fluktuasi iklim. Seperti yang dikatakan ilmuwan Amry Beth Day kepada Live Science “Angkor dapat menjadi contoh bahwa teknologi tak selalu cukup untuk mencegah keruntuhan peradaan selama masa-masa yang tak stabil”.

Angkor memiliki infrastruktur pengelolaan air yang sangat canggih, tetapi keberadaan teknologi ini tak cukup mencegah keruntuhan peradaban dalam menghadapi kondisi lingkungan.

Akhir Kata

Apa menariknya, bangunan-bangunan vertikal flat yang berjejer di kota-kota membentuk hutan beton. Apa Manfaatnya, penimbunan pantai, jikalau terumbu karang rusak, ikan akan mati,  langka, mahal, dan manusia akan bodoh bahkan tamat, karena tidak dapat membeli ikan. Dan Apa pula menariknya “Kota Dunia”, kalau Dunia yang dimaksud adalah sesuatu yang fana, tampak tak berwarna, jauh dari kata substansi, dan bergerak tak memiliki implikasi.

Kita di manjakan pesta-pesta pora yang mengeluarkan dana tak sedikit, sementara dilain sisi, ada keluarga yang kelaparan karena tak memiliki sesuap nasi. Janji kita membuat nyaman untuk semua, tapi apa yang kita lihat nyaman ternyata sebatas ruang dingin dibalik bangunan-bangunan yang berdiri megah. Padahal, jikalau kita merenung, pohon-pohon yang kita tebang dengan mengatasnamaakan pembangunan, sudah lebih dulu memberikan kesejukan yang tidak hanya ada didalam gedung, jangkauannya luas, seluas langit dan bumi.

Kota-Kota telah mengotak-ngotakan tindak tanduk manusia dengan menggunakan iklan "globalisai” (Dunia), hingga terpedaya dan lupa dengan kelestarian manusia dan alam yang begitu sederhana, mahal, dan berkelanjutan. Ujungnya, kita tak sadar waktu telah merubah semuanya menjadi tak berharga, padahal dari kesederhanaan, kita lebih memiliki banyak waktu, untuk dapat melaksanakan tugas wajib yang diemban oleh setiap manusia.

Penulis : Febrianto Samin
Selengkapnya