Sunday, August 19, 2018

Menakar Masalah Kekeringan dalam Perspektif Islam




Oleh : Despry Nur Annisa Ahmad, ST., M.Sc*

Pekan kedua Agustus tahun ini, kita diperhadapkan pada kasus kekeringan yang terus melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Di Jawa Timur, kekeringan melanda 442 desa . Di antara desa yang mengalami kekeringan itu, 199 desa di antaranya mengalami kekeringan kritis yang berarti tidak ada potensi air. Beberapa daerah di Jawa TengahJawa Barat, dan Yogyakarta juga mengalami kekeringan. Ribuan hektare sawah berpotensi gagal panen karena kurangnya pasokan air. Selain itu, Kekeringan pun melanda sejumlah wilayah di luar Pulau Jawa, seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan Sulawesi. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memprediksikan puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus dan September 2018 (Beritatagar.id 12/8/2018).

Definisi kekeringan itu sendiri menurut Suprayogi, dkk (2015) adalah suatu kondisi dimana cadangan air tidak dapat mencukupi kebutuhan air. Hal yang perlu ditekankan ketika sedang membahas bencana kekeringan dari sudut pandang keilmuan kampus penulis adalah tentang pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang terdapat dimasing-masing wilayah. Sebab kekeringan ini adalah salah satu bencana hidrometeorologi yang terjadi akibat pengelolaan DAS yang keliru. Jadi untuk mengurai soalan kekeringan, maka diperlukan pemahaman utuh tentang konsep DAS itu sendiri.

DAS adalah suatu ekosistem sekaligus sistem hidrologi dimana seluruh air yang mengalir bermuara pada outlet yang tunggal (Wani SP dan Garg K, 2008). DAS merupakan suatu ekosistem berarti bahwa pembahasan DAS tidak sebatas tentang unit hidrologi yang ada tetapi juga harus membahas tentang aspek sosial, ekologi, ekonomi, dan kebijakan yang diberlakukan di DAS tersebut. Adapun DAS sebagai suatu kesatuan tata air, yakni dipengaruhi oleh kondisi bagian hulu, khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempat rawan terhadap ancaman gangguan manusia. Fungsi dari keberadaan air yang ada di DAS ini selain untuk kebutuhan harian bagi seluruh makhluk hidup, air yang ada di DAS juga dapat dijadikan sebagai pembangkit listrik tenaga air, seperti yang telah dilakukan di Negara China (Bach et,al., 2011). Mengacu pada pengertian fundamental DAS ini, maka dapat dikatakan bahwa DAS merupakan potensi sumberdaya alam yang wajib dilestarikan karena sangat esensial bagi makhluk hidup.

DAS di Indonesia berjumlah 458. Enam puluh di antaranya dalam kondisi kritis berat, 222 kritis, dan 176 lainnya berpotensi krisis akibat alih fungsi lahan yang membuat penyangga lingkungan itu tidak berfungsi optimal. Akibat makin hilangnya vegetasi di bagian hulu DAS di pegunungan, ratusan DAS kini tak lagi mampu berfungsi menyerap air hujan di bagian hulu, bahkan mengalami erosi dan menyebabkan aliran air DAS makin banyak membawa sedimentasi dari hulu ke hilir. Bahkan, fungsi DAS mengalirkan air dari daratan ke laut kini juga sudah banyak yang terganggu karena badan sungai sepanjang hilir sampai ke hulunya makin menyempit dan rusak akibat pemukiman dan industri yang mengambil bantaran sungai. Akibat kerusakan DAS pula, tidak sedikit ditemukan wilayah yang mengalami ketertinggalan maupun keterbelakangan ekonomi karena DAS pada hakikatnya adalah habitat manusia itu bermukim dan beraktivitas.

Sebelumnya, penulis juga pernah melakukan penelitian di Tahun 2016 tentang bencana kekeringan di salah satu DAS yang terletak di Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan dan Tahun 2017 tentang bencana kekeringan di salah satu DAS yang terletak di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Kedua penelitian tersebut telah dipresentasikan pada masing-masing seminar nasional dan terpublis pada prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Pesisir dan Aliran Sungai ke-2 2016 dan Prosiding Seminar Nasional Geomatika 2017.

Hasil dari kedua penelitian tersebut diketahui bahwa kedua DAS yang diteliti mengalami kekeringan antropogenik. Kekeringan antropogenik adalah kekeringan yang terjadi karena disebabkan oleh perbuatan tangan manusia berupa pendirian bangunan pada daerah resapan air, penambangan pasir secara terus-menerus, dan alih fungsi lahan di kawasan lindung area hulu menjadi kawasan budidaya.

Berdasar hal tersebut, dapat diambil hikmah bahwa bencana kekeringan yang terjadi saat ini tidak lain adalah teguran dari Allah SWT agar kita tidak menjadi manusia yang melampaui batas. Sebagaimana beberapa firmanNya sebagai berikut:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ


Terjemahan:
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS.Ar Rum:41)


وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Terjemahan:
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. Asy-syura :30)

Jika ditelisik lebih dalam lagi, Indonesia saat ini merupakan negeri muslim terbesar di dunia. Seharusnya, jika muslim yang menjadi mayoritas, pasti mereka tidak mungkin berbuat kerusakan karena mereka punya islam sebagai dasar hidupnya. Namun pada faktanya, muslim yang mayoritas ini tidak menjadikan islam sebagai ruh hidupnya. Al hasil, tak sedikit muslim yang lupa akan konsekuensinya diciptakan Allah sebagai khalifah dalam mengelolah sumberdaya alam di bumi ini.

Mudahnya muslim di negeri ini lupa akan identitasnya disebabkan karena negara saat ini menerapkan aturan sekuler (pemisahan agama dari kehidupan). Padahal Islam itu sendiri tidaklah dapat dimaknai sempit sebatas berisi aturan ibadah mahdah saja seperti agama yang lainnya. Lebih dari itu, islam juga mempunyai seperangkat aturan dalam hal kehidupan sosial seperti aturan sistem kepemimpinan syar’i, sistem ekonomi, sistem pergaulan, sistem peradilan, sistem pendidikan, dan termasuk pula didalamnya mengatur tentang kewajiban individu akan penjagaan terhadap lingkungan.

Beberapa aturan islam yang berkaitan dengan penjagaan terhadap lingkungan adalah:
a. Tidak boleh melakukan kerusakan terhadap segala sesuatu sesudah ada perbaikan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 33:

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

b.  Tidak boleh melakukan pencemaran lingkungan dengan kotoran manusia. Rasulullah Saw bersabda:

Terjemahan:

“Berhati-hatilah terhadap dua orang terlaknat.” Sahabat bertanya, “Siapakah dua orang terlaknat itu?” Rasulullah menjawab, “Yakni orang yang membuang kotoran di jalanan yang dilalui orang dan tempat berteduh mereka.”

c.  Islam melarang penebangan pohon yang bisa mengancam kelestarian lingkungan. Rasulullah Saw bersabda:

“Siapa yang memotong pohon bidara yang ada di atas tanah lapang—yang sering digunakan sebagai tempat bernaung bagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan ataupun binatang-binatang—secara sia-sia dan penuh kezaliman tanpa alasan yang benar, maka Allah akan menaruh api neraka di atas kepalanya (HR. Al-Bukhari).

d.  Islam mendorong untuk menggarap tanah dengan cara ditanami, atau menyitanya (tanah pertanian tersebut) dari siapa saja yang tidak menanaminya. Rasulullah Saw bersabda:

Hadist Jabir bin Abdullah r.a. dia berkata : Ada beberapa orang dari kami mempunyai simpanan tanah. Lalu mereka berkata: Kami akan sewakan tanah itu (untuk mengelolahnya) dengan sepertiga hasilnya, seperempat dan seperdua. Rosulullah S.a.w. bersabda: Barangsiapa ada memiliki tanah, maka hendaklah ia tanami atau serahkan kepada saudaranya (untuk dimanfaatkan), maka jika ia enggan, hendaklah ia memperhatikan sendiri memelihara tanah itu. “(HR. Bukhori)

e.  Islam melarang untuk membunuh binatang secara sia-sia. Rasulullah Saw bersabda,

“Setiap orang yang membunuh burung pipit atau binatang yang lebih besar dari burung pipit tanpa ada kepentingan yang jelas, dia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.” Ditanyakan kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, apa kepentingan itu?” Rasulullah menjawab, “Apabila burung itu disembelih untuk dimakan, dan tidak memotong kepalanya kemudian dilempar begitu saja.” (HR Ahmad).

Seandainya saja negeri ini tidak memisahkan antara aturan wahyu dengan kehidupan manusia, dan mau menggunakan islam sebagai nafas berjalannya sistem pemerintahan, maka tentu saja paradigma dalam pembangunan tiap individu yang berada di negeri ini tidak seperti sekarang. Sekarang ini, paradigma tiap individu bertitik tolak pada nilai. Bukan lagi pada substansi. Padahal jika dikembalikan kepada aqidah islam, substansi kehidupan kita di dunia ini adalah untuk beribadah dan melakukan perbaikan-perbaikan. Namun perbaikan-perbaikan itu belum sepenuhnya bisa terlaksana dengan baik jika tidak didukung oleh negara yang menerapkan aturan Islam sebagai satu-satunya aturan wahyu yang mampu mengatur zona sosial manusia sekalipun didalamnya terdapat lintas agama.

Olehnya dalam melihat bencana kekeringan yang saat ini melanda negeri yang kita cintai ini, maka penting bagi kita yang muslim untuk mendudukkan bencana tersebut dalam konstelasi aqidah islam. Sebab telah kita ketahui bersama bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam bukan cuma rahmat bagi kaum muslimin. Maka tentu, dibutuhkan sebuah perisai aturan wahyu yang bertindak sebagai payung lebar dalam menaungi kehidupan bernegara ini agar menjadi berkah dan sejahtera. Sebagaimana janji Allah Swt dalam Q.S Al a’raf ayat 96):


وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ


Terjemahan:

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (Q.S AlA’raf: 96).

Jadi secara keseluruhan, dalam memandang permasalahan kekeringan di negeri ini dibutuhkan dua solusi. Solusi progresif dan solusi adaptif. Solusi progresif adalah solusi yang berupa perbaikan paradigma bernegara dalam memandang pembangunan di negeri ini. Bahwa berjalannya pembangunan di negeri ini tidaklah dapat dipisahkan dari aturan wahyu sebab jika manusia dibiarkan mengatur hidupnya dengan memperturutkan hawa nafsunya, maka yakin saja akan terjadi bencana-bencana antropogenik yang berkelanjutan.

Adapun solusi adaptif yang dimaksud adalah solusi yang berupa langkah-langkah teknis  yang dapat dilakukan dalam melaksanakan rencana aksi naturalisasi untuk menindak lanjuti arahan fungsi pemanfaatan ruang dengan menerapkan tindakan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah secara vegetatif, teknik sipil, dan kimiawi. Hal tersebut bertujuan untuk mengembalikan dan menjaga fungsi utama kawasannya. Pada tataran langkah teknis ini, sifatnya lebih menekankan pada langkah riil dilapangan. Namun, langkah teknis ini tidak cukup jika tidak didukung oleh paradigma yang benar dalam pengelolaan DAS. Sebab masalah kekeringan yang terjadi saat ini adalah hal sistemik, serentak terjadi di negeri ini. Artinya, terdapat paradigma yang keliru dalam mengelolah DAS itu sendiri.

Paradigma keliru tersebut berupa paradigma yang menitikberatkan pada pemikiran bahwa lahan DAS tersebut adalah milik manusia sehingga manusia kadang tidak sadar telah berbuat melampaui batas. Jika dikembalikan pada paradigma yang benar, maka tentu saja sebagai muslim, kita akan berpikir bahwa segala lahan yang terdapat di muka bumi ini adalah milik Allah. Sehingga untuk pengelolaannya pun, kita tentu harus menggunakan aturan wahyu bukan serta merta larut dalam kecenderungan arahan nafsu.

*Penulis adalah lulusan Sarjana Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota UIN Alauddin Makassar dan lulusan Magister Perencanaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Selengkapnya