Saturday, November 17, 2018

Kuliah I: Perencanaan (Wilayah dan Kota)




Manusia hidup didalam ruang yang memiliki rotasi waktu yang terus bergerak dari waktu ke waktu. Dalam menjalankan aktifitasnya didalam ruang, manusia senantiasa menghadapi ketidakpastian (uncertainty), dan ketidakpastian tersebut berdimensi waktu (pada masa yang akan datang). Entah itu satu menit kedepan atau puluhan hingga ratusan tahun kedepan.

Pada hakikatnya, manusia akan cenderung berupaya untuk mengurangi ketidakpastian tersebut, dan dalam menghadapinya, manusia menggunakan berbagai pendekatan, baik secara rasional maupun irrasional. Pada pendekatan irrasional, lahirlah profesi-profesi sepert ahli ramal, paranormal, dan sebagainya. Sebaliknya, pada pendekatan rasional, manusia menjadi seorang “perencana” untuk melakukan perencanaan dalam menyikapi ketidakpastian dengan tindakan-tindakan yang tepat, seperti misalkan; saat kita ingin merencanakan waktu untuk berlibur, pada saat itu juga kita mulai menentukan tujuan liburan kita akan kemana, kendaraan apa yang akan kita gunakan, berapa lama kita berlibur, dan seberapa besar biaya yang dibutuhkan. Oleh karenanya, istilah “perencanaan” sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.

Hall (2002) menerjemahkan istilah “perencanaan” sebagai kegiatan umum sehari-hari untuk menyusun dan mengurutkan langkah-langkah dan tindakan dalam rangka mencapai suatu tujuan atau tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan. Dengan begitu dalam “perencanaan” terdapat beberapa unsur pembentuk didalamnya, diantaranya; (1) ada tujuan yang harus ditetapkan, (2) dilakukan penyusunan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut.

Alexander (dalam Catanese, dan Snyder, 1986) menyampaikan unsur-unsur pembentuk “perencanaan” yang dikumpulkan dari beberapa penulis, diantaranya:
1.   Perencanaan merupakan salah satu kegiatan dasar manusia.
2.   Perencanaan memberikan pilihan rasional.
3.   Perencanaan berperan sebagai pengendali tindakan masa depan.
4.   Perencanaan merupakan salah satu cara pemecahan masalah.
5.   Perencanaan adalah kegiatan dilakukan oleh perencana (baik negara, swasta, ataupun masyarakat).

Jelasnya, “perencanaan” dapat digambarkan melalui suatu proses sebagai berikut:


Perencanaan (Wilayah dan Kota)

“Perencanaan” (Wilayah dan Kota) tidak hanya berdimensikan waktu, akan tetapi juga mengaitkan dimensi ruang didalamnya. Hal ini diterjemahkan pada kata “Perencanaan” yang berasal dari akar kata “plan”. Kata plan bersumber dari bahasa prancis, yaitu “planus” atau datar. Istilah ini bermakna sama dengan kata “plane” (bidang, permukaan), dan “plain” (dataran). Hal ini terkait dengan pengertian “gambar diatas bidang datar” atau “gambar peta/denah” sebagai representasi fisik dari suatu hal yang ingin dikerjakan, seperti; bangunan-bangunan atau kawasan, kota maupun wilayah.  Telah banyak dijumpai bergam artefak tentang bukti adanya aktifitas perencanaan dimasa lampau, seperti pembangunan kuil, candi, pura, masjid, gereja, istana, kompleks istana kerajaan, kompleks pasar pemerintahan, pusat-pusat permukiman tua, kota tua, dan lain sebagainya (Rustiadi, 2018).

Adapun dalam “perencanaan” (Wilayah dan Kota) biasa dikenal 3 cakupan ruang yaitu: (1) mikro, (2) mezo, dan (3) makro. Cakupan mikro merupakan cakupan ruang paling kecil, yang terdiri atas ruang dalam bangunan, bangunan, dan kompleks bangunan. Cakupan mezo terdiri dari sebagian area yang mencakup ruang kawasan atau bagian dari kota, sedangkan makro merupakan ruang yang mencakup mulai dari kota, wilayah (region), hingga tingkat nergara (nasional). Walaupun demikian, dalam praktiknya, ranah penanganan bidang “perencanaan” (Wilayah dan Kota) hanya mencakup ruang mezo dan makro. Seperti pada cakupan mezo kita mengenal istilah Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), sementara cakupan mazo kita mengenal istilah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Lebih lanjut, dalam dimensi waktu, cakupan perencanaan terbagi kedalam 3 yaitu: (1) perencanaan jangka pendek yaitu perencanaan dalam kurun waktu 1 tahun seperti Rencana Kerja SKPD, (2) perencanaan jangka menengah yaitu perencanaan dalam kurun waktu 5 tahun seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan (3) perencanaan jangka panjang yaitu perencanaan dalam kurun waktu 20 tahun seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Bayer, et al (2010)   secara lebih lengkap menjelaskan dimensi perencanaan (Wilayah dan Kota) sebagai berikut:
1.   Perencanaan (Wilayah dan Kota) terkait dengan masa depan; perencanaan (Wilayah dan Kota) mengumpulkan data masa lalu sampai masa kini untuk menganalisis kondisi yang akan dihadapi dimasa depan; berangkat dari situ, kita kemudian menentukan visi ke masa depan lalu menentukan langkah-langkah strategis yang kita sebut sebagai rencana.
2.   Perencanaan (Wilayah dan Kota) terkait dengan tempat; perencanaan (Wilayah dan Kota) mencakup penataan ruang seperti penggunaan lahan (pola ruang), atau tata letak infrastruktur (Struktur ruang). Sederhananya perencanaan (Wilayah dan Kota) menata bentuk kota dimasa yang akan datang.
3.   Perencanaan (Wilayah dan Kota) membantu suprastruktur (penentu kebijakan) untuk membuat arahan strategi kebijakan; didasarkan atas tujuan yang ingin dicapai dimasa yang akan datang, para perencana menyusun beberapa alternatif penataan Wilayah dan Kota dimasa yang akan datang.

Jelasnya dapat digambarkan dalam suatu mekanisme perencanaan (Wilayah dan Kota) sebagai berikut:
Dalam menuju kondisi ruang Wilayah/Kota yang diharapkan dimasa akan datang, maka para perencana (Negara, Swasta, atau Masyarakat) melakukan perencanaan dengan berlandaskan kepada keadaan (data) waktu dimasa lalu hingga kondisi yang ada sekarang ini. Berangkat dari sana, maka proses analisis data menjadi penguhubung antara kondisi Wilayah/Kota dimasa sekarang dan masa yang akan datang, sehingga proses inilah yang kemudian menghasilkan suatu informasi untuk menyusun arahan kebijakan perencanaan yang mernjadi dasar dalam kegiatan pembangunan di suatu Wilayah/Kota. 

Penulis: Febrianto Samin
Selengkapnya

Friday, November 9, 2018

Perencanaan (Wilayah) Partisipatif


Download Tulisan Perencanaan (Wilayah) Partisipatif 1-5


Download Button
Selengkapnya

Mendudukkan Bencana dalam Sudut Pandang Ilmiah dan Ruhiyah




Oleh : Despry Nur Annisa Ahmad*

Bencana menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/ atau faktor nonalam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Indonesia dalam waktu terakhir ini sedang masif dilanda bencana alam tektonik. Beberapa diantaranya yang menyebabkan korban jiwa adalah Gempabumi di Lombok dengan kekuatan 6,4 skala richter (SR) sehingga menghempas Lombok (Nusa Tenggara Barat) dan Bali. Dilansir dari BBC, terhitung 31 Juli 2018 lalu, jumlah korban yang dievakuasi di penampungan mencapai lebih dari 5.000 orang di Lombok. Gempa ini juga mengakibatkan 436 orang meninggal, lebih dari 1.393 orang luka-luka, 22.000 rumah rusak, dan 8 titik desa porak poranda, di antaranya: Calabai, Karombi, Kadindi Barat, Nangamiro, Kadindi Timur, Tambora, Pekat, dan Sorinomo.

Usai gempa pertama pada Minggu pagi tersebut, dirasakan lagi setidaknya 593 gempa susulan. Bahkan saat Minggu malam, jauh lebih dahsyat karena magnitudonya mencapai 7,0 SR dan berpusat di kedalaman kurang dari 20 kilometer, di area darat pula. Menurut data laporan pemerintah daerah dan relawan yang dikumpulkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Jumat (10/8/2018) siang, tercatat 321 orang meninggal dunia.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga sempat mengaktifkan peringatan akan terjadinya gelombang tsunami pada gempa berkekuatan 7,0 SR tersebut. Namun, dalam kurun waktu satu jam peringatan itu dicabut. Walaupun menurut data dari BMKG, gelombang tsunami sudah sempat menghantam wilayah pesisir dengan ketinggian 10-13 centimeter. Pasca terjadinya gempa besar tersebut sekitar pukul 18:46 WITA, Lombok kembali digoyang 47 kali gempa susulan dengan intensitas gempa yang lebih kecil.

Selanjutnya pada 28 September 2018, Palu juga dilanda gempabumi dengan kekuatan 7,4 SR dan menimbulkan gelombang tsunami. Dilansir melalui Kompas 8 Oktober 2018 lalu, data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa jumlah korban jiwa akibat gempa dan tsunami mencapai 1.763 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.519 jenazah ditemukan di Palu. Sementara, sebanyak 159 jenazah ditemukan di Donggala. Di Sigi, ditemukan 69 korban tewas; 15 jenazah di Parigi, dan 1 jenazah ditemukan di Pasangkayu. Adapun jumlah pengungsi, tercatat 62.359 jiwa di 147 titik.

Tidak hanya di Lombok maupun Palu, 11 Oktober di Situbondo Jawa Timur juga diguncang gempabumi dengan kekuatan 6,4 SR. Dilansir dari Tribunnews.com (11/10/2018), data dari BPBD mencatat bahwa jumlah korban meninggal dunia adalah 3 orang, jumlah korban yang luka-luka adalah 9 orang, dan sebanyak 25 rumah warga yang hancur akibat gempa.

Secara ilmiah, terjadinya gempabumi di Lombok, Palu, dan Situbondo memang merupakan peristiwa alam yang berupa hasil kerja lempeng tektonik di dalam bumi. Wilayah-wilayah yang berada dijalur sesar atau patahan aktif, alamiahnya memang akan diguncang gempa. Jika kekuatan magnitudo gempabumi tersebut berada dikisaran magnitudo 7 SR dan titik sumber gempanya dangkal atau memiliki kedalaman kurang dari 20 km, maka gempa tersebut termasuk dalam salah satu kriteria gempa yang berpotensi tsunami.

Lebih lanjut, tatanan lahan yang terdapat di Lombok, Palu, dan Situbondo terbentuk oleh proses geomorfologi struktural. Wilayah yang terbentuk dari proses struktural alamiahnya dalam jutaan tahun lalu merupakan daerah patahan. Pantai pasir putih adalah salah satu indikasi dari wilayah tersebut merupakan wilayah patahan karena pasir putih terbentuk dari proses struktural lalu mengalami pengangkatan ke dasar lautan dan membentuk lahan solusional. Jika disederhanakan, biasanya proses struktural dan proses solusional itu hampir sering berkolaborasi dalam waktu yang bersamaan.

Sejauh ini, seringkali banyak korban jiwa berjatuhan ketika dihantam oleh gempabumi dan tsunami karena secara teknisnya, tata ruang wilayah setempat belum berbasis dengan kajian mitigasi bencana. Padahal dalam aturannya di Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang sudah memuat himbauan agar tata ruang suatu wilayah haruslah disertai dengan kajian mitigasi bencana.

Jika ditelisik lebih jauh lagi, database terkait peta geologi maupun peta geomorfologi skala detail belum tersedia dan ini masih disepelehkan. Padahal, inilah yang justru lebih urgent disediakan karena pembuatan rencana tata ruang suatu wilayah yang resisten terhadap bencana haruslah berbasis pada geomorfologi maupun geologi wilayah tersebut. Bukan malah hanya menjadikan kajian aspek geologi maupun aspek geomorfologi sebagai data penunjang.

Valeda, dkk (2016) membuktikan dalam penelitiannya bahwa keberadaan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTWR) belum efektif dalam mereduksi bencana. Kemudian Muta’ali (2014) membahas lebih lanjut bahwa keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah masih dinilai belum efektif dalam mereduksi bencana karena deliniasi atau penetapan batas kawasan rawan bencananya kurang memiliki indikator penetapan kawasan rawan bencana yang tepat.

Kebanyakan produk tata ruang dalam melakukan justifikasi kawasan rawan bencana hanya berdasar kondisi eksisting. Padahal idealnya, kajian bencana dan upaya pengurangan risikonya itu butuh kajian ilmiah yang mendalam juga.

Selain itu, alasan lain dari tidak terselenggaranya produk tata ruang yang berbasis mitigasi bencana karena sejauh ini produk RTRW seringkali berorientasi pada nilai ekonomi sehingga tidak lagi melihat kemampuan lahannya terhadap bencana seperti apa.

Pernyataan penulis tersebut sejalan dengan apa yang telah disampaikan oleh Mardiatno (2014) selaku Kepala Pusat Studi Bencana Alam di Universitas Gadjah Mada pernah beropini dalam Kompas, 16 Juni 2014. Beliau menyatakan bahwa, “Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) seharusnya bisa menjadi kendali untuk mengurangi dampak bencana, apabila dalam pelaksanaannya memperhitungkan kajian-kajian tentang risiko. Masalahnya, RTRW kebanyakan hanya berorientasi ekonomi. Bahkan, sejumlah infrastruktur baru, misalnya Bandara Yogyakarta juga dibangun di daerah rentan gempa dan tsunami, selain juga banjir”.

Terjadinya tumpang tindih kebijakan teknis ini terjadi karena orientasi pembangunan hari ini memang masih dititikberatkan pada orientasi ekonomi. Bahkan bisa dikatakan, demi investasi, nyawa rakyat hampir sering menjadi taruhannya.

Hasil riset dari Prof Otto Ongkosongo sebelumnya telah pernah memformulasikan bahwa maksiat dan bencana itu punya korelasi yang kuat. Berdasar hasil riset tersebut dapat diambil hikmah bahwa bencana yang terjadi hari ini tidak dicukupkan pada kajian aspek ilmiah saja tapi juga sangat perlu didudukkan pada sudut pandang ruhiyah. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bersabda: “Jika harta rampasan perang dijadikan kas negara (tidak lagi diberikan kepada orang yang ikut perang), amanah dijadikan rebutan, jatah zakat dikurangi, selain ilmu agama banyak dipelajari, lelaki taat kepada wanita dan memperbudak ibunya, orang lebih dekat kepada temannya dan menjauh dari ayahnya, banyak teriakan di masjid, yang memimpin kabilah adalah orang yang bejat (fasik), yang memimpin masyarakat orang yang rendah (agamanya), orang dimuliakan karena ditakuti pengaruh buruknya, para penyanyi wanita tampil di permukaan, khamr diminum, dan generasi terakhir melaknat generasi pertama (sahabat), maka bersiaplah ketika itu dengan adanya angin merah, gempa bumi, manusia ditenggelamkan, manusia diganti wajahnya, dilempari batu dari atas, dan berbagai tanda kekuasaan Allah (musibah) yang terus-menerus, seperti ikatan biji tasbih yang putus talinya, maka biji ini akan lepas satu-persatu.” (HR. Turmudzi).

Berdasarkan hadits tersebut, kita semua harus banyak-banyak bermuhasabah. Jangan sampai kejadian bencana saat ini adalah warning dari pemilik alam agar kita menunaikan seluruh hak-hakNya untuk tertunaikan secara sempurna.

Terkait penanggulangan bencana, peradaban islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah telah mencontohkannya. An Nawiy (2018) memaparkan bahwa manajemen bencana model Khilafah Islamiyah tegak di atas aqidah Islamiyah. Prinsip-prinsip pengaturannya didasarkan pada syariat Islam, ditujukan untuk kemashlahatan rakyat, sehingga kebijakan teknis dilapangan tidak saling tumpang tindih. Manajemen bencana Khilafah Islamiyah meliputi penanganan pra bencana, ketika, dan sesudah bencana.

Penangangan pra bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mencegah atau menghindarkan penduduk dari bencana. Kegiatan ini meliputi pembangunan sarana-sarana fisik untuk mencegah bencana, seperti pembangunan kanal, bendungan, pemecah ombak, tanggul, dan lain sebagainya. Reboisasi (penanaman kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata kota yang berbasis pada amdal, memelihara kebersihan lingkungan, dan lain-lain.

Kegiatan lain yang tidak kalah penting adalah membangun mindset dan kepedulian masyarakat, agar mereka memiliki persepsi yang benar terhadap bencana; dan agar mereka memiliki perhatian terhadap lingkungan hidup, peka terhadap bencana, dan mampu melakukan tindakan-tindakan yang benar ketika dan sesudah bencana. Untuk merealisasikan hal ini, khalifah akan melakukan edukasi terus-menerus, khususnya warga negara yang bertempat tinggal di daerah-daerah rawan bencana alam; seperti warga di lereng gunung berapi, pinggir sungai dan laut, dan daerah-daerah rawan lainnya.

Edukasi meliputi pembentukan dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap penjagaan dan perlindungan lingkungan; serta peningkatan pengetahuan mereka terhadap penanganan ketika dan pasca bencana. Harapannya, masyarakat terbiasa peduli terhadap lingkungannya dan mengetahui cara untuk mengantisipasi dan menangani bencana, dan me-recovery lingkungannya yang rusak—akibat bencana—agar kembali berfungsi normal seperti semula.

Selain itu, Khilafah Islamiyah membentuk tim-tim SAR yang memiliki kemampuan teknis dan non teknis dalam menangani bencana. Tim ini dibentuk secara khusus dan dibekali dengan kemampuan dan peralatan yang canggih–seperti alat telekomunikasi, alat berat, serta alat-alat evakuasi korban bencana, dan lain-lain–, sehingga mereka selalu siap sedia (ready for use) diterjunkan di daerah-daerah bencana. Tim ini juga bergerak secara aktif melakukan edukasi terus-menerus kepada masyarakat, hingga masyarakat memiliki kemampuan untuk mengantisipasi, menangani, dan me-recovery diri dari bencana.

Serangkaian upaya manajemen tersebut telah dicontohkan pada saat terjadinya bencana paceklik yang menimpa Jazirah Arab dibawah kepemimpinan Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu. Pada saat itu, orang-orang mendatangi Kota Madinah sebagai pusat pemerintahan Khilafah Islamiyah untuk meminta bantuan pangan. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu segera membentuk tim yang terdiri dari beberapa orang sahabat, seperti Yazid bin Ukhtinnamur, Abdurrahman bin al-Qari, Miswar bin Makhramah, dan Abdullah bin Uthbah bin Mas’ud radhiyallahu anhu.

Setiap hari, keempat orang sahabat yang mulia ini melaporkan seluruh kegiatan mereka kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu, sekaligus merancang apa yang akan dilakukan besok harinya. Umar bin Khaththab ra menempatkan mereka di perbatasan Kota Madinah dan memerintahkan mereka untuk menghitung orang-orang yang memasuki Kota Madinah. Jumlah pengungsi yang mereka catat jumlahnya terus meningkat. Pada suatu hari, jumlah orang yang makan di rumah Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berjumlah 10 ribu orang, sedangkan orang yang tidak hadir di rumahnya, diperkirakan berjumlah 50 ribu orang.

Pengungsi-pengungsi itu tinggal di Kota Madinah selama musim paceklik. Dan selama itu pula mereka mendapatkan pelayanan yang terbaik dari Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu. Setelah musim paceklik berakhir, Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu memerintahkan agar pengungsi-pengungsi itu diantarkan kembali di kampung halamannya masing-masing. Setiap pengungsi dan keluarganya dibekali dengan bahan makanan dan akomodasi lainnya, sehingga mereka kembali ke kampung halamannya dengan tenang dan penuh kegembiraan. Manajemen bencana tersebut disusun karena dorongan aqidah islam untuk melaksanakan syariah “wajibnya seorang Khalifah melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya”.

Jikalau pemimpin negeri saat ini juga menggunakan prinsip aqidah islam dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, tentunya pemimpin hari ini tidak menyepelehkan kajian kemampuan lahan, penyediaan peta geologi dan peta geomorfologi dalam skala detail untuk dokumen tata ruang. Ekonomi juga bukan dijadikan basis orientasi pembangunan. Ridho Allah-lah yang menjadi basis pembangunan yang dilaksanakan agar dibawah kekuasaannya, rakyat tidak mengami penderitaan akibat kedzaliman pemimpin dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat.

Bencana gempabumi, tsunami, ataupun bencana lainnya memang merupakan musibah dan Qadha Allah. Kita sebagai manusia tidak memiliki ilmu yang bisa memprediksi kapan terjadinya. Namun, ada area ikhtiar kita sebagai manusia dalam melakukan upaya pengurangan risiko bencana. Dan sejauh ini, pembangunan-pembangunan atau dokumen tata ruang yang ada kebanyakan belum berbasis pada kajian risiko bencana. Olehnya, tanggung jawab pemimpinlah yang seharusnya menghadirkan Ruh Ilahi dalam menciptakan ruang yang aman, nyaman produktif, dan berkelanjutan bagi masyarakatnya. Sebab pemimpin yang yang memiliki kesadaran aqidah islam yang mengkrista, alamiahnya pasti akan menerapkan jaring-jaring syariah secara sempurna dan paripurna. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al-A’raf: 96)

*Penulis adalah Lulusan Sarjana Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar dan lulusan Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai universitas Gadjah Mada
Selengkapnya

Thursday, November 8, 2018

Penataan Ruang Berkelanjutan, Bisakah Diwujudkan?



Oleh : Mohammad Muttaqin Azikin*

Setelah era pertengahan tahun 1980-an, konsep “Pembangunan Berkelanjutan” menjadi semacam model bagi Pemerintah, LSM serta berbagai organisasi di tingkat regional maupun internasional, dan menjadikannya sebagai kata kunci dalam sejumlah wacana, rencana, kebijakan dan laporan yang disusun. Seperti diketahui, istilah “pembangunan berkelanjutan” untuk kali pertama diperkenalkan pada Oktober 1987, lewat laporan berjudul Our Common Future yang diterbitkan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) atau lebih dikenal dengan sebutan Brundtland Commission. Lembaga ini dibentuk oleh Sekretaris Umum PBB pada 1983,  disebabkan keprihatinan banyak pihak karena memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya manusia.

Di Indonesia, model ‘pembangunan berkelanjutan’ sudah cukup lama diadopsi dan menjadi agenda banyak kebijakan pembangunan yang disusun pemerintah, seperti  Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan bahkan paling mutakhir berupa Peraturan Presiden tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) Perpres No. 59 tahun 2017. Dalam kebijakan spasial pun, juga tertera pada tujuan penyelenggarakan penataan ruang, yakni untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional.

Meski begitu, dalam kenyataannya hingga saat ini, implementasi serta penerapan model pembangunan berkelanjutan, masih belum optimal. Sebab itu, Prof. Oekan S. Abdoellah, Ph.D. dalam bukunya “Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia di Persimpangan Jalan” menyebut bahwa model tersebut sampai sekarang ini masih bekerja ditingkat wacana dan retorika politik untuk sekadar memenuhi kewajiban sebagai anggota PBB. Bahkan, sebagian pengamat melihat adanya kecenderungan konsepsi berkelanjutan, tidak nyata-nyata menjadi pilar sesungguhnya dari pembangunan global, khususnya di Dunia Ketiga. “Pembangunan berkelanjutan” masih hidup pada taraf retorika belaka, yang tidak jarang menjadi tameng dan peluru yang dimanfaatkan, untuk membenarkan kebijakan-kebijakan sepihak yang ditekankan negara-negara Dunia Pertama, terhadap pemerintah negara-negara Dunia Ketiga, pada konteks penguasaan akses ekonomi dalam hal pembagian kerja kapitalis global. Demikian pernah diungkapkan R. Attfield dalam The Ethics of The Global Environment serta juga Prof. Dr. Otto Soemarwoto.

Roda pembangunan tentu akan terus berjalan, baik direncanakan ataupun tidak direncanakan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi. Namun, pembangunan tanpa disertai perencanaan akan berdampak munculnya permasalahan yang kompleks dan serius, yang pada gilirannya dapat membahayakan keberlangsungan kehidupan. Oleh karenanya, Rencana Penataan Ruang harus disusun dan dijadikan sebagai acuan dalam pembangunan.

Dalam “Kupas Tuntas Penataan Ruang” disebutkan bahwa salah satu ketentuan yang mengatur perihal pembangunan di negara kita, yaitu Rencana Pembangunan dengan Pendekatan Ruang, sebagaimana diatur dalam UU. No.26 tahun 2007, yang menghasilkan dokumen Rencana Umum Penataan Ruang dan Rencana Rinci Penataan Ruang. Pendekatan ini, mesti saling bersinergi dan saling mengacu dengan Rencana Pembangunan dengan Pendekatan Fungsi Pemerintahan (RPJP, RPJM, Renstra, RKPD), sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang yang memayunginya. Dalam arti, pelaksanaan penataan dan pemanfaatan ruang diprogramkan dalam rencana pembangunan, di samping itu, semua sektor ketika merencanakan pembangunan sektornya, harus mengacu dan memperhatikan rencana penataan ruang.

Pertanyaannya, setelah puluhan tahun berlakunya UU.26/2007, apakah penataan ruang berkelanjutan telah terwujud dan sudah menjadi rujukan penting dalam penyelenggaraan pembangunan? Sejatinya, penataan ruang mestilah meniscayakan adanya keberlanjutan. Sebab, tahapan dari sejak perencanaan, pemanfaatan, hingga pengendalian pemanfaatan ruang menunjukkan hal itu.

Namun demikian, demi menjaga serta memastikan keberlanjutan penyelenggaraan penataan ruang, maka setidaknya sejumlah langkah berikut dapat dijadikan pertimbangan, antara lain :

Pertama, Menyatukan persepsi di antara stakeholder yang terkait dengan penyelenggaraan penataan ruang, untuk secara bersama berkomitmen melaksanakan proses penataan ruang  yang ada, secara benar dan konsisten.

Kedua, Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penataan ruang, agar partisipasi masyarakat bisa semakin maksimal.

Ketiga, Mengawal proses politik dalam menelorkan produk-produk perencanaan saat memasuki tahapan legislasi, supaya tidak melenceng dari tujuan penataan ruang.

Lantas, penataan ruang berkelanjutan seperti apa yang kita inginkan? Yaitu, penataan ruang yang di mana tidak hanya menekankan pada aspek fisik dan ekonomi, tetapi juga memperhatikan aspek-aspek pembangunan bidang sosial, budaya dan lingkungan. Dengan begitu, penataan ruang berkelanjutan yang berasaskan pada keterpaduan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan adalah penataan ruang yang bukan saja memikirkan kepentingan generasi sekarang, tetapi juga memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang.

Pada konteks NKRI, penataan ruang berkelanjutan mesti berlandaskan pada wawasan nusantara. Dalam arti, penataan ruang yang berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai dasar negara, demi mewujudkan kehidupan  sejahtera bagi seluruh masyarakat dan juga untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia. Bisakah semua ini direalisasikan, yang notabene merupakan tugas negara dalam penyelenggaraan penataan ruang? Wallahu a’lam bisshawab.

* Pengurus Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Sulawesi Selatan dan Peneliti pada Ma’REFAT INSTITUTE (Makassar Research for Advance Transformation).
Selengkapnya