Wednesday, February 20, 2019

Tata Ruang dan Kebencanaan



Oleh : Mohammad Muttaqin Azikin*

Cuaca ekstrem yang melanda Sulawesi Selatan beberapa waktu belakangan, telah memicu terjadinya bencana yang melumpuhkan sebagian wilayah metropolitan mamminasata dan beberapa daerah lainnya. Ini merupakan kali kedua setelah kejadian yang sama terjadi sekitar akhir Desember 2018 lalu. Sebetulnya di awal Desember, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar, telah menyampaikan peringatan dini terkait musim hujan yang akan memasuki fase puncak. Curah hujan dengan intensitas tertinggi sudah diprediksi terjadi di bulan Desember dan Januari ini. Karenanya, daerah-daerah telah diingatkan untuk sedini mungkin melakukan langkah antisipasi, terutama pada wilayah rawan bencana.

Pada kesempatan lain, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Selatan juga telah melansir data jumlah dan dampak kejadian bencana alam yang terjadi selama 2018. Dari 217 kali kejadian bencana, banjir dan tanah longsor termasuk yang paling sering terjadi pada 2018 lalu. Jumlah korban terdampak sebanyak 13.729 jiwa dan 11.650 unit rumah terendam.

Tragedi banjir besar yang terjadi beberapa waktu lalu, tepatnya pada 22 Januari 2019, menerjang wilayah Sulawesi Selatan di 70-an Kecamatan pada 13 Kabupaten/Kota. Hingga akhir Januari, setidaknya 79 orang dinyatakan meninggal dalam kejadian ini. Pada sepuluh tahun terakhir, ini merupakan banjir terparah yang pernah ada. Sangat parah karena cakupan wilayah terdampak bencana yang begitu luas.

Dari dua kejadian terakhir bencana besar yang melanda Sulawesi Selatan tersebut, kita dapat simpulkan sementara bahwa ada persoalan dalam proses pembangunan yang dilakukan selama ini. Sebab, bila dicermati jenis bencana yang terjadi serta banyaknya daerah dan titik wilayah terdampak, yang belum pernah mengalami bencana sebesar saat ini, maka bisa diduga faktor penyebabnya tidak semata karena cuaca buruk. Alih fungsi lahan dan hutan, penambangan tak terkendali dan penyempitan aliran sungai adalah sebagian di antara penyebab terjadinya banjir besar tersebut.

Berbicara bencana, perlu dilihat dalam dua kategori. Pertama, bencana yang tidak mampu dicegah.  Contohnya, gempa bumi, tsunami, liquifaksi, gunung berapi, angin puting beliung. Kedua, bencana yang dapat dicegah. Umumnya jenis bencana ini, diakibatkan oleh perlakuan manusia terhadap alam, seperti banjir, longsor, banjir bandang, kebakaran hutan. Nah, bencana yang melanda Sulsel beberapa waktu lalu, sebagian besarnya disebabkan bencana kategori kedua. Lalu, apa yang perlu dilakukan dalam hal mitigasinya?

Optimalisasi Mitigasi

Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun melalui penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Bila untuk bencana jenis pertama, yang mungkin dilakukan dalam  mitigasinya, hanya sebatas mengurangi dampak yang ditimbulkan dari bencana tersebut. Maka untuk bencana kategori kedua, proses mitigasi bisa dilakukan dengan cara mencegah atau menghentikan faktor-faktor penyebab terjadinya krisis ekologi dan kerusakan/degradasi lingkungan.

Problem utama dan mendasar yang dihadapi dalam kaitan ini, bahwa sistem perencanaan kita belum berbasis kebencanaan. Baik pada sistem perencanaan pembangunan (Development Planning) maupun sistem perencanaan tata ruang (Spatial Planning). Dengan kata lain, pada kebanyakan dokumen rencana jangka panjang, rencana jangka menengah serta juga rencana tata ruang, aspek kebencanaan tidak menjadi perhatian serius, yang butuh dijelaskan dengan uraian terperinci. Jika pun sudah terakomodasi dalam dokumen-dokumen perencanaan tersebut, maka tahap implementasinya yang menjadi soal.

Sebagai ilustrasi, kajian cepat yang dilakukan Direktorat Jenderal Tata Ruang – Kementerian ATR, menunjukkan hal ini. Dalam Perda 16/2011 RTRW Kota Palu 2010-2030, tidak dijelaskan secara khusus Kawasan Rawan Bencana (KRB) gempa. Yang ada kawasan rawan gelombang pasang/tsunami. Anehnya, pada kondisi faktual yang ditemukan, wilayah/kelurahan yang disebut sebagai KRB gelombang pasang/tsunami, justru telah berkembang menjadi kawasan perdagangan dan jasa yang padat dengan aktivitas. Akibat kurangnya perhatian dalam perencanaan tata ruang/spasial terhadap aspek kebencanaan, menyebabkan dampak yang ditimbulkan begitu besar.

Karenanya, apapun langkah yang akan diambil dalam mengatasi banjir, selama normalisasi pada daerah hulu terhadap pelanggaran tata ruang dan kerusakan lingkungan, tidak dibereskan, maka hasilnya akan sia-sia. Karenanya, beberapa hal berikut perlu dicermati semua pihak, sebagai antisipasi terjadinya bencana di kemudian hari, di antaranya: komitmen untuk selalu taat pada rencana tata ruang, pemanfaatan ruang yang eksploitatif, khususnya pada area pertambangan harus dihentikan, serta pengendalian pemanfaatan ruang mesti konsisten ditegakkan. Kesemuanya itu akan menjadikan daya tampung dan daya dukung lingkungan akan tetap terjaga.

Dalam refleksi yang lain, Muhammad Nur Jabir-Direktur Rumi Institute,  mendakukan bahwa kali ini hujan benar-benar mengajak nurani kemanusiaan kita. Mencoba mengoyak-ngoyak keangkuhan yang tak berarti. Dan selalu bertanya, “Sampai kapan kita akan membiarkan air hujan merenggut nyawa?” Apakah kita masih belum bisa belajar, dari setiap musim penghujan yang akan menjebak kita dalam kecemasan! Bila menengok tragedi bencana yang baru saja terjadi, sekali lagi menjadi peringatan keras buat kita, bahwa penataan ruang tidak boleh diabaikan. Lantas, mungkinkah mitigasi bencana dioptimalkan? Sangat tergantung pada manusianya. Apakah ia mau menjadikan tata ruang sebagai instrumen penting dalam upaya memitigasi bencana ataukah tidak. Wallahu a’lam bisshawab.

* Pengurus Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Sulawesi Selatan dan Peneliti pada Ma’REFAT INSTITUTE (Makassar Research for Advance Transformation).

Selengkapnya

Reklamasi Indonesia: Adaptasi Atau Maladaptasi?


Oleh: Andi Idham Asman
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Keilmuan "Panrita (Planning Research and Literation) Studio"

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan panjang pesisir mencapai 108.000 km2 (BIG, 2018), menempatkan Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada (menginspirasi.com, 2018). Kondisi ini menyebabkan sebagian besar wilayah perkotaan Indonesia berada di daerah pesisir yang diikuti dengan aktivitas masyarakat yang juga lebih banyak di daerah pesisir, bahkan menurut data dari bank dunia lebih dari 65 % masyarakat Indonesia tinggal didaerah pesisir. Jumlah penduduk yang berkembang pesat di kawasan perkotaan akibat urbanisasi mengakibatkan permintaan ruang semakin meningkat. Salah satu upaya yang cukup banyak dilakukan pemerintah Indonesia saat ini dalam rangka memenuhi kebutuhan ruang tersebut adalah reklamasi pantai.

Menurut undang-undang no 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh setiap orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase. UU no 1 tahun 2014 tersebut merupakan perubahan dari UU No 27 tahun 2007. Definisi reklamasi yang semula dijelaskan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh “orang” berubah menjadi “setiap orang”. Perubahan tersebut dilakukan untuk mempertegas bahwa kegiatan tersebut bukan hanya ditujukan untuk orang tertentu tetapi dapat dilakukan oleh siapapun. Kegiatan pembangunan reklamasi dikawasan pesisir hampir sebagian besar dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan ruang akibat pertumbuhan penduduk yang pesat. Beberapa contoh Negara yang melakukan reklamasi diantaranya adalah Singapura, Hongkong, Jepang, Korea Selatan dan Belanda. Singapura misalnya, Pertambahan penduduk yang cukup tinggi menuntut disiapkannya lahan bagi kebutuhan perumahan, industri dan fasilitas perkotaan sehingga pada tahun 1970-an mulai dilakukan reklamasi (Syamsidik, 2003).

Di Indonesia sendiri, pembangunan reklamasi di kota-kota pesisir telah banyak dilakukan seperti, Jakarta, Manado, Bali, Makassar, Semarang, dan Palu. Sama halnya dengan pembangunan reklamasi di kota-kota dunia, reklamasi di Indonesia dilakukan untuk memenuhi kebutuhan permukiman dan kegiatan perekonomian. Selain peruntukkan ruang permukiman dan kegiatan perekonomian, dalam rencana tata ruang ataupun master plan perencanaan, menjadikan reklamasi sebagai bagian dari strategi adaptasi terhadap ancaman bencana seperti sea level rise, banjir rob, dan bencana pesisir lainnya yang disebabkan oleh perubahan iklim. Dengan tujuan dan fungsi pembangunan reklamasi yang disebutkan di atas, apa yang membuat masih banyak kontra atau penolakan terhadap pembangunan reklamasi? Hal ini tentu menarik untuk didiskusikan.
Artikel ini berfokus pada pembangunan berkelanjutan dan judgement dari sisi yang lebih global, sehingga masih banyak paradigma yang lebih teknis untuk didiskusikan lebih lanjut. Oleh karena itu, dalam artikel ini reklamasi akan dibahas sebagai bentuk adaptasi ataupun maladaptasi terhadap perubahan iklim.

Berbicara mengenai adaptasi dan maladaptasi, tentunya tak terlepas dari pembahasan perubahan iklim itu sendiri. Perubahan iklim merupakan pemicu utama potensi terjadinya bencana yang disebutkan sebelumnya menjadi ancaman yang kemudian melahirkan perencanaan untuk meminimalisir dan atau bahkan menghilangkan dampak terhadap bencana pesisir.

Perubahan iklim didefinisikan dalam RAN API sebagai perubahan signifikan pada iklim yang berlangsung selama minimal 30 tahun atau lebih lama. Sedangkan menurut Trenberth dkk, mengatakan perubahan iklim sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang mengubah komposisi atmosfer, yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang. Proses perubahan iklim yang meningkatkan ancaman terhadap bencana terutama di kawasan pesisir mendorong perlunya upaya adaptasi terhadap perubahan iklim.

Adaptasi dalam dokumen RAN API adalah penyesuaian dalam sistem alam atau sistem buatan manusia untuk menjawab rangsangan atau pengaruh iklim, baik yang bersifat aktual ataupun perkiraan, dengan tujuan mengontrol bahaya yang ditimbulkan atau memberikan kesempatan yang menguntungkan. Adaptasi dapat juga didefinisikan sebagai usaha alam atau manusia menyesuaikan diri untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang sudah atau mungkin terjadi.

Maka, perlunya adaptasi terhadap perubahan iklim diintegrasikan dalam pengarusutamaan program-program pembangunan. Pembangunan reklamasi seperti yang disebutkan sebelumnya merupakan bagian dari adaptasi terhadap ancaman bencana pesisir. Reklamasi yang kemudian difungsikan sebagai sea wall tentu akan dapat mencegah air laut masuk kedaratan akibat bencana seperti sea level rises dan banjir rob. Namun, beberapa fakta belakangan ini terjadi bahwa sering kali upaya yang dilakukan untuk adaptasi malah berdampak buruk atau justru meningkatkan kerentanan yang sering disebut dengan maladaptasi.

Ada beberapa pendapat tentang maladaptasi, seperti yang dikemukakan oleh Scheraga and Grambsch (1998) menggambarkan bahwa maladaptasi sebagai situasi di mana dampak negatif yang disebabkan oleh keputusan adaptasi sama seriusnya dengan dampak iklim yang dihindari. IPCC ketiga juga mendeskripsikan maladaptasi yaitu sebagai sebuah adaptasi yang tidak berhasil mengurangi kerentanan tetapi malah meningkatkannya. Kemudian Jon Barnet dan Saffron O’Neil (2009) mensintesis dan memperluas wawasan dari definisi-deinisi sebelumnya dan mendefinisikan maladaptasi sebagai tindakan yang diambil seolah-olah untuk menghindari atau mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim yang berdampak buruk, atau meningkatkan kerentanan sistem, sektor atau kelompok sosial lain. Berdasarkan pemaparan diatas, kini muncul pertanyaan sederhana:

Apakah reklamasi di Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk maladaptasi?

Ada beberapa tipe yang kemudian dapat digunakan sebagai kriteria atau mengevaluasi terkait maladaptasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, dalam artikel ini melihat dari sisi yang lebih global sehingga pembahasan akan difokuskan pada 2 tipe maladaptasi terkait dengan pembangunan reklamasi di Indonesia. Tentu saja perlu dikaji lebih dalam terkait tipe-tipe yang bisa jadi sifatnya lebih teknis ataupun dari paradigm berbeda.
1.      Meningkatkan Emisi Gas Rumah Kaca
Jenis maladaptasi ini tentu menjadi hal yang cukup umum, sebagai contoh yang paling sering disebutkan adalah peningkatan penggunaan AC yang berenergi tinggi sebagai respons terhadap dampak kesehatan dari gelombang panas (Kovats et al., 2006). Dalam kasus reklamasi di Indonesia, hal ini kemungkinan dapat terjadi. Dengan pembangunan reklamasi di Indonesia yang sebagian besar untuk peruntukkan ruang permukiman dan kegiatan perekonomian, maka akan meningkatkan aktivitas di kawasan pesisir tersebut. Pembangunan reklamasi yang dimaksudkan sebagai adaptasi terhadap perubahan iklim dengan meminimalisir dampak dari ancaman bencana pesisir seperti sea level rises dan banjir rob kemungkinan membutuhkan adaptasi lebih lanjut di masa depan karena justru dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK). Peningkatan aktivitas manusia secara tidak langsung meningkatkan kebutuhan akan energi yang akan ikut meningkatkan produksi emisi gas rumah kaca. Peningkatan konsumsi energi seperti listrik, air bersih, dan kebutuhan dasar lainnya yang dimaksudkan untuk mendukung aktivitas manusia seperti yang dijelaskan Trenberth sebelumnya dapat memicu perubahan komposisi atmosfer yang menyebabkan perubahan iklim. Harley (2006) juga pernah menggambarkan bagaimana aktivitas manusia di pesisir menjadi elemen paling berpengaruh terhadap perubahan iklim dengan mengatakan “aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil (penggunaan energi berlebih) dan penggundulan hutan mengarah ke konsentrasi gas rumah kaca yang lebih tinggi di atmosfer, yang pada gilirannya menyebabkan serangkaian perubahan fisik dan kimia di lautan pesisir” yang juga dituangkan seperti pada gambar  sistem perubahan iklim di bawah ini :


2.      Secara tidak proporsional membebani yang lebih rentan
Tindakan adaptasi dikatakan maladaptasi jika, dalam memenuhi kebutuhan satu sektor atau kelompok, mereka meningkatkan kerentanan mereka yang paling berisiko, seperti kelompok minoritas atau rumah tangga berpendapatan rendah. Beberapa kasus reklamasi di Indonesia dapat menjadi contoh terkait hal tersebut, pembangunan reklamasi dengan peruntukan perekonomian dan permukiman hanya dapat diakses masyarakat dengan ekonomi menengah keatas akibat nilai lahan yang sangat tinggi. Kawasan pesisir yang sebelumnya dihuni oleh masyarakat dengan mata pecaharian utama nelayan, dengan pembangunan reklamasi akses untuk melaut tertutup ataupun ketika harus melaut jarak yang di tempuh harus lebih jauh yang menyebabkan biaya yang dibutuhkan lebih besar. Hal ini menyebabkan beberapa nelayan harus mencari sumber mata pencaharian baru dan perubahan fisik yang juga memunculkan kantong-kantong kumuh.

Berdasarkan penjabaran diatas, dalam artikel ini kemudian tidak memberikan judgement apakah reklamasi di Indonesia merupakan bentuk adaptasi atau maladaptasi. Hal ini dikarenakan kita perlu melihat ke paradigma yang lebih luas lagi baik terkait teknis maupun sistem yang terbentuk di dalamnya. Pembangunan reklamasi bisa saja menjadi bentuk adaptasi terhadap bencana pesisir akibat perubahan iklim pada masa sekarang dengan pembangunan reklamasi sebagai tanggul laut yang mengurangi risiko terhadap bencana sea level rises ataupun banjir rob, tetapi juga dapat digolongkan sebagai maladaptasi karena meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan perubahan struktur sosial, sehingga justru membutuhkan bentuk adaptasi yang lebih besar di masa depan.

Artikel ini disajikan sebagai bahan diskusi dan acuan dalam pembangunan (terutama pembangunan reklamasi) sebagai bentuk adaptasi perlu mempertimbangkan berbagai hal yang sewaktu-waktu justru memunculkan masalah yang lebih kompleks dengan risiko meningkatnya kerentanan di area pesisir tersebut. Peningkatan asset perekonomian dan jumlah masyarakat yang bermukim merupakan kerentanan terhadap potensi bencana di kawasan reklamasi.

Perlunya adaptasi terhadap perubahan iklim diintegrasikan dalam pengarusutamaan program-program pembangunan. Selain itu, penguatan kapasitas lokal penting untuk dilakukan, termasuk peningkatan koordinasi pusat-daerah, perencanaan dan pendanaan. Masyarakat juga perlu lebih memahami isu perubahan iklim, serta ketahanan keluarga miskin dan kelompok rentan lainnya perlu ditingkatkan.  Penelitian-penelitian juga perlu dilakukan untuk menambah pemahaman akan dampak lokal perubahan iklim.

Selengkapnya