Saturday, November 23, 2019

PORAK (Polusi Udara Kota) Porandakan Kehidupan Umat Manusia


“A nation that destroys its soils destroys itself. Forests are the lungs of our land, purifying the air and giving fresh strength to our people.” ― Franklin D. Roosevelt

Franklin D. Roosevelt telah menggambarkan bagaimana manusia membutuhkan alam untuk terus dapat bertahan hidup. Ia memaknai bahwa tanah sebagai salah satu sumberdaya alam merupakan sumber kehidupan suatu bangsa yang keberlanjutannya sangat ditentukan oleh keadaan hutan sebagai produsen O2 dan pengendali kualitas udara yang mereduksi CO2 hasil pembakaran kendaraan bermotor dan aktivitas industrialisasi. Menurutnya, hilangnya hutan adalah suatu bagian dari hancurnya suatu bangsa dan juga hilangnya kekuatan alami bagi masyarakat yaitu udara bersih.

Baru-baru ini tagar #UdaraBersihAdalahHakAsasiManusia sempat menjadi trending topic di beberapa media. Udara bersih merupakan bagian dari lingkungan hidup kita yang memiliki peran sangat besar dalam kehidupan sehari-hari seluruh makhluk hidup. Akan tetapi, dalam kenyataannya setiap hari peningkatan polusi udara terus terjadi, salah satu contohnya adalah tingkat polusi udara di Kota Jakarta pada tahun 2019 yang sangat buruk. Green Peace mencatat tingkat polusi udara di Jakarta Selatan mencapai 42.2 µg/m3 dan Jakarta Pusat mencapai 37.5 µg/m3. Dengan kata lain, konsentrasi PM2.5 di Kota Jakarta mencapai empat kali lipat di atas batas aman tahunan menurut standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 10 µg/m3. Angka tersebut juga telah jauh melebihi batas aman tahunan menurut standar nasional yang tercantum pada PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yaitu 15 µg/m3.

Polusi udara ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi hampir di seluruh dunia. Pada hari peringatan Lingkungan Hidup sedunia, yang diselenggarakan pada tanggal 5 Juni 2019 lalu di Tiongkok, tema yang diangkat yaitu “polusi udara”. Tema ini diambil karena polusi udara telah menjadi ancaman global yang semakin mengkhawatirkan dan mempengaruhi kesehatan umat manusia dan kondisi lingkungan global. PBB menyatakan 9 dari 10 orang sekarang menghirup udara yang tercemar. WHO menyatakan hal ini menyebabkan krisis kesehatan global dengan 7 juta kematian orang per tahun.

Polusi udara juga membunuh 800 orang setiap jam atau 13 orang setiap menit. Jumlah itu 3 kali lebih banyak dibandingkan kematian akibat malaria, tuberculosis, dan AIDS yang digabungkan setiap tahun. Polusi udara dari sektor rumah tangga menyebabkan sekitar 3,8 juta kematian dini setiap tahun. Sebagian besar terjadi di negara berkembang, dan sekitar 60% dari kematian itu terjadi pada perempuan dan anak-anak. Polusi udara bertanggung jawab atas 26% kematian akibat penyakit jantung iskemik, 24% kematian akibat stroke, 43% akibat penyakit paru obstruktif kronis dan 29% akibat kanker paru-paru. Pada anak-anak, polusi udara terkait dengan berat badan lahir rendah, asma, kanker pada masa kanak-kanak, obesitas, perkembangan paru-paru yang buruk, dan autisme.

Berdasarkan salah satu penelitian yang dilakukan di Salt Lake City, Amerika Serikat pada bulan Februari 2019, ditemukan fakta bahwa peningkatan kadar nitrogen dioksida sebanyak 20 mikrogram per meter kubik udara berkorelasi dengan peningkatan kasus keguguran hingga sekitar 16 persen. Dalam penelitian tersebut sekitar 1300 perempuan yang masuk ke unit gawat darurat setelah mengalami keguguran dari tahun 2007 hingga 2015. Hasil penelitian menunjukkan, penyebab utama kasus keguguran adalah naiknya kadar polutan nitrogen dioksida dalam masa satu minggu sebelum keguguran.

Gambar. Dampak Polutan Terhadap Kesehatan Manusia

Fenomena ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan dampaknya didasari oleh beberapa hal yang sejatinya merupakan perbuatan dari ulah manusia sendiri. Lalu apa yang menyebakan pencemaran udara ini? Sejumlah polutan global dan lokal termasuk didalamnya karbon hitam atau jelaga, yang dihasilkan karena system pembakaran yang tidak efisien dari sumber seperti kompor, mesin diesel dan gas metana. Setidaknya terdapat lima sumber utama penyebab terjadinya pencemaran udara, diantaranya: pembakaran bahan bakar fosil di dalam ruangan, kayu dan biomassa lainnya untuk memasak, memanaskan dan menyalakan rumah; industri termasuk pembangkit listrik seperti pembangkit listrik tenaga batu bara dan generator diesel; transportasi terutama kendaraan dengan mesin diesel; pertanian terutama peternakan yang menghasilkan metana dan ammonia, sawah, yang menghasilkan metana dari pembakaran limbah pertanian.; dan pembakaran sampah terbuka dan sampah organic di tempat pembuangan sampah. Secara akumulatif sekitar 25% polusi udara sekitar perkotaan berasal dari partikel halus yang dihasilkan oleh aktivitas transportasi, 20% oleh pembakaran bahan bakar domestik dan 15% oleh kegiatan industri termasuk pembangkit listrik.

Seriusnya dampak yang ditimbulkan oleh polusi udara ini, maka PBB membuat gerakan #beatAirPollution yang saat ini sedang di upayakan berbagai pihak. Gerakan ini bertujuan untuk mengurangi polusi udara, mengembangkan alat untuk mendukung pembuatan kebijakan tentang polusi udara dan mitigasi perubahan iklim, mengurangi angka kematian dan penyakit yang ditimbulkan akibat polusi udara, dan berbagai alat industri dan transportasi yang lebih ramah lingkungan. Saat ini, 82 dari 193 negara memiliki insentif yang mempromosikan investasi dalam produksi energi terbarukan, produksi bersih, efisiensi energi, dan pengendalian polusi.

Dalam mewujudkan hal ini, komitmen pemerintah sangat dibutuhkan. Salah satu bentuk komitmen yang dilakukan pemerintah hari ini dapat dilihat dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta No. 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara yang menjadi lokomotif bagi untuk menyediakan transportasi publik dalam mengurangi penggunaan kendaraan pribadi sehingga emisi gas carbon dapat berkurang. Selain itu bentuk komitmen pemerintah untuk menggunakan pembangkit listrik yang ramah lingkungan harus dilaksanakan, dikarenakan pada kondisinya PLTU selama ini merupakan penyumbang polusi udara yang cukup besar, khususnya di Indonesia. Pengetahuan masyarakat tentang polusi udara juga harus ditingkatkan, agar dalam upaya penanggulangan puolusi udara, masyarakat juga turut dapat berperan aktif.

Penulis: Ummu, Nur Aeni, dan Faiz (Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota UIN Alauddin Makassar)

Selengkapnya

Tuesday, May 14, 2019

Urgensi Pemindahan Ibu Kota



 Oleh: Akbar B. Mappagala

Sejak masa penjajahan Hindia Belanda, Jakarta telah menjadi pusat akivitas pemerintahan dan perdagangan pemerintah kolonial. Terkenal dengan nama Batavia, Jakarta bertransformasi menjadi salah satu ibu kota terkenal di asia bahkan di dunia dibawah naungan Hindia Belanda. Jakarta menjadi pilihan paling realistis kala itu sebab Kota Jakarta telah terbentuk sehingga tinggal mengembangkannya melalui pembangunan infrastruktur. Setelah Indonesia merdeka, Jakarta menjadi ibu kota negara Indonesia yang menjadi titik tumpu berbagai aktivitas skala nasional dengan beban yang cukup besar. Aktivitas yang begitu besar Jakarta harus melayani berbagai macam kebutuhan masyarakat nasional maupun internasional. Dengan luas sebesar 661,5 km2 harus menampung beban jumlah penduduk 10.467.600 jiwa dengan tingkat kepadaatan penduduk sebesar 15824 jiwa/km2 dengan kata lain 1 km2 wilayah Jakarta, dihuni oleh penduduk sebesar 15.824 jiwa.

Ditinjau lebih lanjut secara administrative Ibu kota Jakarta bukan merupakan bentuk kota administraif seperti halnya ibu kota di negara lain, Jakarta merupakan daerah administratif khusus provinsi (DKI) yang memiliki 5 kota administratif dan 1 kabupaten. Ada kekhususan yang berlaku pada daerah administratif ini yang diatur dalam undang undang kekhususan. Sementara itu secara etimologi Ibu kota adalah kota tempat kedudukan pusat pemerintahan suatu negara, tempat dihimpun unsur administratif, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan begitu dapat diartikan bahwa Jakarta merupakan himpunan kota administratif yang menjadi satu wilayah khusus dan berfungsi sebagai pusat pemerintahan negara dengan fungsi tambahan lain yang turut berkembang.

Sejarah Pemindahan Ibu Kota

Dalam perjalanan sejarahnya, Republik Indonesia telah mengalami beberapa kali pemindahan ibu kota negara, pada masa awal kmerdekaan dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara. Pada masa itu, Pusat pemerintahan terpaksa berpindah ke Yogyakarta menyusul adanya pendudukan Belanda di Jakarta. Pusat pemerintahan sempat pula pindah sementara ke Bukittinggi pada 19 Desember 1948-6 Juli 1949 namun kembali lagi ke Yogyakarta sebelum akhirnya kembali ke Jakarta. Pemindahan ibu kota ke beberapa daerah dilakukan bukan dalam rangka memecahkan masalah teknis dan problem social ekonomi ibu kota, yang pada saat itu memang belum serumit sekarang. Pemindahahan tersebut dilakukan dalam keadaan darurat untuk mengamankan simbol negara serta mempertahankan kedaulatan NKRI menyusul pendudukan Belanda di sejumlah kota di Indonesia.

Mengapa Harus Pindah ?

Berdasarkan kajian lembaga pemerhati lingkungan maupun tata ruang perkotaan, pemindahan Ibu kota menjadi tema menarik untuk diulas. Dari hasil riset Greenpeace 2018, Ibu kota Jakarta berada diurutan teratas untuk kaegori kota terpolusi di Asia Tenggara, dengan kata lain bahwa udara Jakarta sudah tidak layak untuk bagi masyarakat. Kemudian berdasarkan data kementrian perhubungan mengenai rasio jumlah kendaraan yang sangat jauh dari persentase pertumbuhan infrasturktur jalan yang seharusnya 15 % pertahun. Data tersebut sejalan dengan laporan inrix 2017, bahwa jakarta merupakan kota termacet ke 12 di dunia. Belum lagi soal kerugian akibat kemacetan yang sudah mencapai 100 t pertahun, migrasi penduduk yang membuat penduduk Jakarta bertambah pesat, kemiskinan dan disparitas perekonomian diwilayah pinggiran serta degradasi lingkungan Ibu kota Jakarta menjadi masalah yang tak kunjung selesai. Hal tersebut disebabkan oleh beban Jakarta yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan negara dan juga sebagai pusat bisnis skala internasional yang menjadikan Jakarta sebagai titik aktivitas pergerakan yang terkonsentrasi dan memliki tarikan yang cukup kuat yang mempengaruhi pergerakan masyarakat secara nasional. Jika ditinjau dari aspek tata ruang ibu kota Jakarta, jauh dari ekspektasi, pemanfaatan ruang yang belum sesuai dengan arahan pedoman rencana tata ruang yang telah dibuat, misalnya dalam pemanfaatan sempadan sungai dan proses normalisasi daerah aliran sungai, yang mengakibatkan bencana banjir tahunan tak pernah bisa dihindari. Padahal peran Jakarta sebagi ibu kota sangatlah vital. Hajat hidup 260 juta masyarakat Indonesia diputuskan disana sehingga dibutuhkan kota yang layak, baik dari sisi daya dukung dan daya tampung ruang sehingga pelayanan terhadap aktivitas yang berjalan dapat efektif dan efisien. Permasalahan yang ada di Jakarta sangat kompleks, multi sector serta belum mampu searah dengan tujuan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan sesuai amanat undang-undang.

Wacana Pemindahan Ibu Kota

Diskusi mengenai pemindahan ibu kota negara republik Indonesia telah ada semenjak awal kemerdekaann. pada saat Bung Karno menyebut palangkaraya sebagai wilayah yang ideal untuk menjadi ibu kota negara ketika meresmikan Provinsi Kalimantan Tengah tahun 1957. Dan bukan kali itu saja Bung Karno menyebut rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Palangkaraya.  Kali kedua, Bung Karno menyampaikan Palangkaraya sebagai calon ibu kota negara pada suatu Seminar di Bandung tahun 1965. Menurut Wijanarka dalam buku Soekarno & Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya, “dua kali Bung Karno mengunjungi Palangkaraya, Kalimantan Tengah untuk melihat langsung potensi kota itu menjadi pusat pemerintahan Indonesia”.  Alasan Preseiden Soekrno memilih Palangkaraya karena letak Palangkaraya yang cukup strategis, berada di tengah-tengah Indonesia. Selain itu, pertimbangan pemerataan pembangunan juga menjadi alasan kuat.

Pada masa pemerintahan SBY wacana ini kembali menguat, bahkan telah dibuat skenario pemindahan ibu kota pada tahun 2010, skenario tersebut diantaranya: Skenario realistis, yaitu ibu kota tetap di Jakarta namun dengan pilihan kebijakan untuk menata, membenahi, dan memerbaiki berbagai persoalan Jakarta, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir, maupun tata ruang wilayah; Skenario moderat, yaitu pusat pemerintahan dipisahkan dari ibu kota negara. Artinya, Jakarta akan tetap diletakkan sebagai ibu kota negara karena faktor historis, namun pusat pemerintahan akan digeser atau dipindahkan ke lokasi baru; Skenario radikal, yaitu membangun ibu kota negara yang baru dan menetapkan pusat pemerintahan baru di luar wilayah Jakarta, sedangkan Jakarta hanya dijadikan sebagai pusat bisnis. Skenario radikal memerlukan strategi perencanaan yang komprehensif dengan berbagai opsi penentuan calon ibu kota baru.

Jika ditelaah masing-masing skenario diatas, maka pada skenario pertama, sangat sulit direlisasikan, sampai saat ini belum terlihat perubahan signifikan wajah ibu kota, setelah beberapa metode dan kajian pemecahan masalah diterapkan ibu kota tetap tak bisa keluar dari masalah-masalah pokok yang akan dientaskan. Selanjutanya, untuk skenario kedua, dimana pemisahan ibu kota dari fungsi pemerintahan dengan alasan historis dinilai kurang tepat. Sebab ibu kota negara melekat dengan fungsi pemerintahan dimana ia berkedudukan. Sementara untuk skenario ketiga, dilihat cukup relevan dengan kondisi-kondisi yang ada pada Ibu kota Jakarta saat ini, namun harus tetap dilakukan dengan pertimbangan yang matang dari segi penempatan dan tata ruang serta kemampuan pembiayaan pembangunan ibu kota baru nantinya.

Ibu Kota Pindah Kemana?

Beberapa hari yang lalu, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan bahwa Ibu kota Negara Republik Indonesia harus dipindahkan di luar jawa. Keputusan tersebut kemudian mejadi perbicangan di banyak kalangan. Sejalan dengan itu Bappenas selaku institusi yang bertanggung jawab atas kajian dan perencanaan pemindahan ibu kota telah melakukan kajian yang mendalam selama 1,5 tahun terakhir. Baik terhadap kemapuan daya dukung ibu kota Jakarta saat ini maupun daerah-daerah yang menjadi calon ibu kota. Timbul beberapa spekulasi mengenai lokasi yang tepat untuk menjadi ibu kota negara nantinya. Ada 2 pulau yang menurut Bappenas layak dari segi letak strategis maupun daya dukung serta tingkat keamanan dari bencana. Adalah Kalimantan dan Sulawesi, untuk pulau Kalimantan nama yang menguat adalah Palangka Raya Kalimanta Tengah, Tanah Bumbu Kalimantan Selatan, Penajam Paser Utara Kalimantan Timur. Untuk Sulawesi, kandidat yang paling mungkin adalah Mamuju Sulawesi Barat, meskipun sempat juga ada usulan dari tokoh bangsa untuk memasukkan Makassar dan Pare-pare sebagai kandidat calon ibu kota.  Bahkan Gubernur dari keempat provinsi tersebut telah diikutkan dalam diskusi terbatas oleh Bappenas. Memang jika dilihat secara geografis melalui Peta Indonesia, keempat wilayah ini letaknya cukup strategis dan berada di bagian tengah dari wilayah Indonesia. Dengan kata lain, keberadaan ibu kota nantinya akan memangkas jarak dan waktu tempuh menuju ibu kota, utamanya bagi sebagian wilayah yang berada di tengah dan timur Indonesia. Terlepas dari kota mana yang dipilih, tergantung dari hasil kajian Bappenas dan keputusan bersama antara Pemerintah dan DPR.

Pemerataan Pembangunan

Pemindahan ibu kota didasari oleh keberadaan Jakarta yang sudah tidak layak dalam mengakselerasi pembangunan dan mendukung fungsi pemerintahan sebagai fungsi utama ibu kota negara. Banjir, kemacetan, polusi udara, degradasi lingkungan, tata ruang wilayah serta kemiskinan menjadi masalah yang belum juga teratasi. Ketimpangan pembangunan antara pulau jawa dengan pulau lain juga menjadi alasan dalam pemindahan ibu kota di luar jawa.  Selain dari pada itu, pemindahan ibu kota juga sejalan dengan asas pembangunan nasional yaitu pemerataan dan keadilan. Pemerataan pembangunan baik itu infrasruktur maupun sumberdaya manusia, menjadi hal mautlak jika Indonesia ingin menjadi negara maju. Nantinya ibu kota baru akan membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru yang memberi dampak bagi wilayah-wilayah sekitarnya (trickling down effect) dan memantik munculnya aktvitas ekonomi baru (aglomerasi). Dengan begitu ibu kota negara dapat fokus pada pelayanan fungsi pemerintahan dan Jakarta fokus sebagai pusat bisnis dan perdagangan skala nasional dan internasional. Yang tak kalah penting juga adalah komitmen pemerintah untuk mewujudkan kebijakan tersebut. Untuk memindahkan ibu kota dan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru, diperlukan aturan dan kebijakan yang mempertegas dan mengikat. Perwujudan kebijakan tersebut dilakukan dengan melibatkan partisipasi pihak swasta dan masyarakat baik dalam perencanaan, pemanfaatan seta pengendalian. Dan pada akhirnya, keputusan pemindahan ibu kota harus tetap dimaknai sebagai upaya dan proses dalam menyelesaikan persoalan Jakarta serta meningkatkan kejahteraan masyarakat melalui pemerataan pembangunan yang berkelanjutan dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Selengkapnya

Wednesday, March 6, 2019

Tata Ruang Yang Berkeadilan, Akankah Jadi Kenyataan?



Oleh : Mohammad Muttaqin Azikin*

Hari Tata Ruang Nasional, kembali diperingati pada 8 November 2018 yang lalu. Momentum ini menjadi penting, untuk digunakan melakukan evaluasi serta refleksi dari berbagai stakeholder, khususnya pemerintah dan pemerintah daerah yang diamanatkan oleh Undang-Undang dalam penyelenggaraan penataan ruang.   

Dewasa ini, istilah tata ruang sudah mulai sering disebut-sebut dalam berbagai kesempatan, oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai dari pejabat tinggi sampai masyarakat umum. Fenomena ini merupakan penanda dimulainya era baru pemahaman dan pengakuan tentang arti penting tata ruang, dalam berbagai bidang pembangunan yang menyangkut aspek kehidupan masyarakat. Sebab, tata ruang terkait dengan suatu penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggaran kehidupan.

Persepsi keruangan (spatial) sebenarnya sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Bagaimana manusia membutuhkan ruang dan menata ruang sesuai dengan kebutuhan kehidupannya, yang telah dibuktikan dalam rangkaian perkembangan peradaban manusia.  Jika pada zaman dahulu, manusia berusaha untuk menempatkan dirinya dalam ruang-ruang fisik secara sederhana. Di zaman kemudian, telah mendorong manusia untuk menata kebutuhan ruang secara lebih maju serta lebih massif.

Seiring dengan modernisasi dan perkembangan peradaban manusia, permasalahan tata ruang pun sudah mulai timbul. Salah satunya adalah keadilan dalam  tata ruang. Padahal, keadilan merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan penataan ruang, seperti tertuang pada UU. No.26 tahun 2007. Bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil. PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, juga menyebut kalau pengaturan penataan ruang dilakukan untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh aspek penyelenggaran penataan ruang.

Ironisnya, dalam fakta dan kenyataan yang ada, keadilan ruang sepertinya masih jauh dari harapan. Amati saja apa yang terjadi pada kota-kota besar di tanah air. Maka kita akan disuguhi berbagai paradoks dan ketidakadilan di dalamnya.

Pembangunan apartemen dan perumahan elit berskala besar, merebak dengan gegap gempita, mewadahi kepentingan mereka yang justru kebanyakan sudah memiliki rumah pribadi. Sedangkan, pembangunan rumah sederhana(RS), rumah sangat sederhana(RSS) serta rumah susun murah, terkesan dikerjakan seadanya yang terkadang menghadapi berbagai kendala. Hambatan yang paling utama adalah bahwa masyarakat kecil/bawah, makin tak mampu memperoleh lahan perkotaan. Sementara itu, para pemodal/kapitalis dengan mudah menguasai ratusan hektar lahan, kemudian dijadikan perumahan mewah dengan lokasi strategis yang sarana-prasarananya serba lengkap.

Dalam sistem transportasi, situasi yang tidak jauh berbeda juga sering terjadi. Di mana, ada kesan kuat bahwa kendaraan pribadi lebih dimanjakan ketimbang kendaraan umum massal. Jalan tol, jalan layang, dan semacamnya, terus dibangun, sedangkan infrastruktur transportasi massal dikerjakan dan dikelola ‘setengah hati’. Pada sektor perdagangan, perbelanjaan dan pertokoan, kita saksikan menjamurnya pusat-pusat pertokoan, mall, shopping centre, yang diikuti dengan lenyapnya pasar rakyat/lokal, toko-toko kecil dan warung kaki lima. Dominasi sektor formal terhadap sektor informal saat ini, sungguh sangat terasa. Sehingga kadang memunculkan tanya, tidak bisakah pasar ‘modern’ itu hidup berdampingan dengan pasar rakyat/pasar lokal?

Tidak jarang juga kita temukan, semisal alih fungsi ruang dan alih tata guna lahan, dari ruang terbuka hijau/RTH (public) berubah menjadi hotel (privat), pusat perbelanjaan, dan yang lainnya. Padahal, menurut Ali Madanipour dalam “Design of Urban Space”, yang dikutip di buku “Merebut Ruang Kota”, bahwa keberadaan ruang publik perkotaan (public urban space) memungkinkan  dan membiarkan masyarakat yang berbeda kelas, etnik, gender dan usia, saling bercampur baur.  Hanya saja, ruang publik yang diartikan  sebagai kawasan  yang bisa diakses oleh siapapun, terkadang banyak pihak yang mencoba mengubah ruang publik, menjadi  ruang privat dengan cara mengambil alih secara paksa. Hal seperti ini, jelas menunjukkan sikap serta kebijakan anti rakyat yang tidak adil. Karena dengan begitu, kepentingan investor swasta menzalimi kepentingan rakyat kebanyakan. Privatisasi mengalahkan partisipasi.

Prof. Eko Budihardjo menukil Peter Lang, yang sudah mengingatkan kita dalam bukunya, “Mortal City”, bahwa kota-kota besar di dunia sekarang dapat diibaratkan sebagai ajang peperangan bisnis dan ekonomi. Yang diuntungkan dalam peperangan ini adalah para penguasa kelas kakap. Merekalah yang berkesempatan memanipulasi dan mengeksploitasi berbagai paradoks perkotaan demi keuntungan mereka sendiri.

Lantas, mengapa keadilan begitu sulit ditegakkan? Padahal, secara fitriah setiap manusia pasti menyukai keadilan. Dalam perspektif teologis, Islam telah menekankan pentingnya setiap orang berlaku adil. Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan….” (QS. An-Nahl : 90) 

Terealisasinya keadilan di tengah-tengah masyarakat, merupakan cita ideal dari sebuah sistem dan tatanan. Karena itu, salah satu tujuan penting dari pengutusan para Nabi adalah menegakkan keadilan dalam masyarakat manusia, atau membentuk masyarakat yang diliputi keadilan. “Sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan Mizan agar manusia dapat menegakkan keadilan.” (QS. Al-Hadid : 25)

Pada konteks penataan ruang, berlaku adil bisa dimaknai, tidak menggunakan standar ganda serta konsisten menjalankan aturan tata ruang, dan terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran. Sesungguhnya, masalah terpenting dalam konsep dan kesadaran akan ‘ruang’ tersebut, yakni apa yang saya maknai – dari salah seorang guru saya - sebagai ‘eskatologi tata ruang’ yaitu bagian fundamental dalam keyakinan dan kesadaran  orang-orang yang ber-Tuhan. Karena itu, mungkin sudah selayaknya para penyelenggara tata ruang, mengetuk kesadarannya akan penataan ruang berkeadilan, bahwa ada kekuasaan/kewenangan, ada aturan/regulasi, namun juga ada pertanggungjawaban akhirat di hadapan Tuhan Yang Maha Adil, tentang sikap dan perilaku manusia terhadap ruang. Semoga saja penyelenggara tata ruang, sungguh-sungguh berkomitmen dalam ikhtiarnya mewujudkan tata ruang yang berkeadilan. Wallahu a’lam bisshawab.

* Pengurus Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Sulawesi Selatan dan Peneliti pada Ma’REFAT INSTITUTE (Makassar Research for Advance Transformation).

Selengkapnya

Wednesday, February 20, 2019

Tata Ruang dan Kebencanaan



Oleh : Mohammad Muttaqin Azikin*

Cuaca ekstrem yang melanda Sulawesi Selatan beberapa waktu belakangan, telah memicu terjadinya bencana yang melumpuhkan sebagian wilayah metropolitan mamminasata dan beberapa daerah lainnya. Ini merupakan kali kedua setelah kejadian yang sama terjadi sekitar akhir Desember 2018 lalu. Sebetulnya di awal Desember, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar, telah menyampaikan peringatan dini terkait musim hujan yang akan memasuki fase puncak. Curah hujan dengan intensitas tertinggi sudah diprediksi terjadi di bulan Desember dan Januari ini. Karenanya, daerah-daerah telah diingatkan untuk sedini mungkin melakukan langkah antisipasi, terutama pada wilayah rawan bencana.

Pada kesempatan lain, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Selatan juga telah melansir data jumlah dan dampak kejadian bencana alam yang terjadi selama 2018. Dari 217 kali kejadian bencana, banjir dan tanah longsor termasuk yang paling sering terjadi pada 2018 lalu. Jumlah korban terdampak sebanyak 13.729 jiwa dan 11.650 unit rumah terendam.

Tragedi banjir besar yang terjadi beberapa waktu lalu, tepatnya pada 22 Januari 2019, menerjang wilayah Sulawesi Selatan di 70-an Kecamatan pada 13 Kabupaten/Kota. Hingga akhir Januari, setidaknya 79 orang dinyatakan meninggal dalam kejadian ini. Pada sepuluh tahun terakhir, ini merupakan banjir terparah yang pernah ada. Sangat parah karena cakupan wilayah terdampak bencana yang begitu luas.

Dari dua kejadian terakhir bencana besar yang melanda Sulawesi Selatan tersebut, kita dapat simpulkan sementara bahwa ada persoalan dalam proses pembangunan yang dilakukan selama ini. Sebab, bila dicermati jenis bencana yang terjadi serta banyaknya daerah dan titik wilayah terdampak, yang belum pernah mengalami bencana sebesar saat ini, maka bisa diduga faktor penyebabnya tidak semata karena cuaca buruk. Alih fungsi lahan dan hutan, penambangan tak terkendali dan penyempitan aliran sungai adalah sebagian di antara penyebab terjadinya banjir besar tersebut.

Berbicara bencana, perlu dilihat dalam dua kategori. Pertama, bencana yang tidak mampu dicegah.  Contohnya, gempa bumi, tsunami, liquifaksi, gunung berapi, angin puting beliung. Kedua, bencana yang dapat dicegah. Umumnya jenis bencana ini, diakibatkan oleh perlakuan manusia terhadap alam, seperti banjir, longsor, banjir bandang, kebakaran hutan. Nah, bencana yang melanda Sulsel beberapa waktu lalu, sebagian besarnya disebabkan bencana kategori kedua. Lalu, apa yang perlu dilakukan dalam hal mitigasinya?

Optimalisasi Mitigasi

Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun melalui penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Bila untuk bencana jenis pertama, yang mungkin dilakukan dalam  mitigasinya, hanya sebatas mengurangi dampak yang ditimbulkan dari bencana tersebut. Maka untuk bencana kategori kedua, proses mitigasi bisa dilakukan dengan cara mencegah atau menghentikan faktor-faktor penyebab terjadinya krisis ekologi dan kerusakan/degradasi lingkungan.

Problem utama dan mendasar yang dihadapi dalam kaitan ini, bahwa sistem perencanaan kita belum berbasis kebencanaan. Baik pada sistem perencanaan pembangunan (Development Planning) maupun sistem perencanaan tata ruang (Spatial Planning). Dengan kata lain, pada kebanyakan dokumen rencana jangka panjang, rencana jangka menengah serta juga rencana tata ruang, aspek kebencanaan tidak menjadi perhatian serius, yang butuh dijelaskan dengan uraian terperinci. Jika pun sudah terakomodasi dalam dokumen-dokumen perencanaan tersebut, maka tahap implementasinya yang menjadi soal.

Sebagai ilustrasi, kajian cepat yang dilakukan Direktorat Jenderal Tata Ruang – Kementerian ATR, menunjukkan hal ini. Dalam Perda 16/2011 RTRW Kota Palu 2010-2030, tidak dijelaskan secara khusus Kawasan Rawan Bencana (KRB) gempa. Yang ada kawasan rawan gelombang pasang/tsunami. Anehnya, pada kondisi faktual yang ditemukan, wilayah/kelurahan yang disebut sebagai KRB gelombang pasang/tsunami, justru telah berkembang menjadi kawasan perdagangan dan jasa yang padat dengan aktivitas. Akibat kurangnya perhatian dalam perencanaan tata ruang/spasial terhadap aspek kebencanaan, menyebabkan dampak yang ditimbulkan begitu besar.

Karenanya, apapun langkah yang akan diambil dalam mengatasi banjir, selama normalisasi pada daerah hulu terhadap pelanggaran tata ruang dan kerusakan lingkungan, tidak dibereskan, maka hasilnya akan sia-sia. Karenanya, beberapa hal berikut perlu dicermati semua pihak, sebagai antisipasi terjadinya bencana di kemudian hari, di antaranya: komitmen untuk selalu taat pada rencana tata ruang, pemanfaatan ruang yang eksploitatif, khususnya pada area pertambangan harus dihentikan, serta pengendalian pemanfaatan ruang mesti konsisten ditegakkan. Kesemuanya itu akan menjadikan daya tampung dan daya dukung lingkungan akan tetap terjaga.

Dalam refleksi yang lain, Muhammad Nur Jabir-Direktur Rumi Institute,  mendakukan bahwa kali ini hujan benar-benar mengajak nurani kemanusiaan kita. Mencoba mengoyak-ngoyak keangkuhan yang tak berarti. Dan selalu bertanya, “Sampai kapan kita akan membiarkan air hujan merenggut nyawa?” Apakah kita masih belum bisa belajar, dari setiap musim penghujan yang akan menjebak kita dalam kecemasan! Bila menengok tragedi bencana yang baru saja terjadi, sekali lagi menjadi peringatan keras buat kita, bahwa penataan ruang tidak boleh diabaikan. Lantas, mungkinkah mitigasi bencana dioptimalkan? Sangat tergantung pada manusianya. Apakah ia mau menjadikan tata ruang sebagai instrumen penting dalam upaya memitigasi bencana ataukah tidak. Wallahu a’lam bisshawab.

* Pengurus Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Sulawesi Selatan dan Peneliti pada Ma’REFAT INSTITUTE (Makassar Research for Advance Transformation).

Selengkapnya

Reklamasi Indonesia: Adaptasi Atau Maladaptasi?


Oleh: Andi Idham Asman
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Keilmuan "Panrita (Planning Research and Literation) Studio"

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan panjang pesisir mencapai 108.000 km2 (BIG, 2018), menempatkan Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada (menginspirasi.com, 2018). Kondisi ini menyebabkan sebagian besar wilayah perkotaan Indonesia berada di daerah pesisir yang diikuti dengan aktivitas masyarakat yang juga lebih banyak di daerah pesisir, bahkan menurut data dari bank dunia lebih dari 65 % masyarakat Indonesia tinggal didaerah pesisir. Jumlah penduduk yang berkembang pesat di kawasan perkotaan akibat urbanisasi mengakibatkan permintaan ruang semakin meningkat. Salah satu upaya yang cukup banyak dilakukan pemerintah Indonesia saat ini dalam rangka memenuhi kebutuhan ruang tersebut adalah reklamasi pantai.

Menurut undang-undang no 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh setiap orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase. UU no 1 tahun 2014 tersebut merupakan perubahan dari UU No 27 tahun 2007. Definisi reklamasi yang semula dijelaskan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh “orang” berubah menjadi “setiap orang”. Perubahan tersebut dilakukan untuk mempertegas bahwa kegiatan tersebut bukan hanya ditujukan untuk orang tertentu tetapi dapat dilakukan oleh siapapun. Kegiatan pembangunan reklamasi dikawasan pesisir hampir sebagian besar dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan ruang akibat pertumbuhan penduduk yang pesat. Beberapa contoh Negara yang melakukan reklamasi diantaranya adalah Singapura, Hongkong, Jepang, Korea Selatan dan Belanda. Singapura misalnya, Pertambahan penduduk yang cukup tinggi menuntut disiapkannya lahan bagi kebutuhan perumahan, industri dan fasilitas perkotaan sehingga pada tahun 1970-an mulai dilakukan reklamasi (Syamsidik, 2003).

Di Indonesia sendiri, pembangunan reklamasi di kota-kota pesisir telah banyak dilakukan seperti, Jakarta, Manado, Bali, Makassar, Semarang, dan Palu. Sama halnya dengan pembangunan reklamasi di kota-kota dunia, reklamasi di Indonesia dilakukan untuk memenuhi kebutuhan permukiman dan kegiatan perekonomian. Selain peruntukkan ruang permukiman dan kegiatan perekonomian, dalam rencana tata ruang ataupun master plan perencanaan, menjadikan reklamasi sebagai bagian dari strategi adaptasi terhadap ancaman bencana seperti sea level rise, banjir rob, dan bencana pesisir lainnya yang disebabkan oleh perubahan iklim. Dengan tujuan dan fungsi pembangunan reklamasi yang disebutkan di atas, apa yang membuat masih banyak kontra atau penolakan terhadap pembangunan reklamasi? Hal ini tentu menarik untuk didiskusikan.
Artikel ini berfokus pada pembangunan berkelanjutan dan judgement dari sisi yang lebih global, sehingga masih banyak paradigma yang lebih teknis untuk didiskusikan lebih lanjut. Oleh karena itu, dalam artikel ini reklamasi akan dibahas sebagai bentuk adaptasi ataupun maladaptasi terhadap perubahan iklim.

Berbicara mengenai adaptasi dan maladaptasi, tentunya tak terlepas dari pembahasan perubahan iklim itu sendiri. Perubahan iklim merupakan pemicu utama potensi terjadinya bencana yang disebutkan sebelumnya menjadi ancaman yang kemudian melahirkan perencanaan untuk meminimalisir dan atau bahkan menghilangkan dampak terhadap bencana pesisir.

Perubahan iklim didefinisikan dalam RAN API sebagai perubahan signifikan pada iklim yang berlangsung selama minimal 30 tahun atau lebih lama. Sedangkan menurut Trenberth dkk, mengatakan perubahan iklim sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang mengubah komposisi atmosfer, yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang. Proses perubahan iklim yang meningkatkan ancaman terhadap bencana terutama di kawasan pesisir mendorong perlunya upaya adaptasi terhadap perubahan iklim.

Adaptasi dalam dokumen RAN API adalah penyesuaian dalam sistem alam atau sistem buatan manusia untuk menjawab rangsangan atau pengaruh iklim, baik yang bersifat aktual ataupun perkiraan, dengan tujuan mengontrol bahaya yang ditimbulkan atau memberikan kesempatan yang menguntungkan. Adaptasi dapat juga didefinisikan sebagai usaha alam atau manusia menyesuaikan diri untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang sudah atau mungkin terjadi.

Maka, perlunya adaptasi terhadap perubahan iklim diintegrasikan dalam pengarusutamaan program-program pembangunan. Pembangunan reklamasi seperti yang disebutkan sebelumnya merupakan bagian dari adaptasi terhadap ancaman bencana pesisir. Reklamasi yang kemudian difungsikan sebagai sea wall tentu akan dapat mencegah air laut masuk kedaratan akibat bencana seperti sea level rises dan banjir rob. Namun, beberapa fakta belakangan ini terjadi bahwa sering kali upaya yang dilakukan untuk adaptasi malah berdampak buruk atau justru meningkatkan kerentanan yang sering disebut dengan maladaptasi.

Ada beberapa pendapat tentang maladaptasi, seperti yang dikemukakan oleh Scheraga and Grambsch (1998) menggambarkan bahwa maladaptasi sebagai situasi di mana dampak negatif yang disebabkan oleh keputusan adaptasi sama seriusnya dengan dampak iklim yang dihindari. IPCC ketiga juga mendeskripsikan maladaptasi yaitu sebagai sebuah adaptasi yang tidak berhasil mengurangi kerentanan tetapi malah meningkatkannya. Kemudian Jon Barnet dan Saffron O’Neil (2009) mensintesis dan memperluas wawasan dari definisi-deinisi sebelumnya dan mendefinisikan maladaptasi sebagai tindakan yang diambil seolah-olah untuk menghindari atau mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim yang berdampak buruk, atau meningkatkan kerentanan sistem, sektor atau kelompok sosial lain. Berdasarkan pemaparan diatas, kini muncul pertanyaan sederhana:

Apakah reklamasi di Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk maladaptasi?

Ada beberapa tipe yang kemudian dapat digunakan sebagai kriteria atau mengevaluasi terkait maladaptasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, dalam artikel ini melihat dari sisi yang lebih global sehingga pembahasan akan difokuskan pada 2 tipe maladaptasi terkait dengan pembangunan reklamasi di Indonesia. Tentu saja perlu dikaji lebih dalam terkait tipe-tipe yang bisa jadi sifatnya lebih teknis ataupun dari paradigm berbeda.
1.      Meningkatkan Emisi Gas Rumah Kaca
Jenis maladaptasi ini tentu menjadi hal yang cukup umum, sebagai contoh yang paling sering disebutkan adalah peningkatan penggunaan AC yang berenergi tinggi sebagai respons terhadap dampak kesehatan dari gelombang panas (Kovats et al., 2006). Dalam kasus reklamasi di Indonesia, hal ini kemungkinan dapat terjadi. Dengan pembangunan reklamasi di Indonesia yang sebagian besar untuk peruntukkan ruang permukiman dan kegiatan perekonomian, maka akan meningkatkan aktivitas di kawasan pesisir tersebut. Pembangunan reklamasi yang dimaksudkan sebagai adaptasi terhadap perubahan iklim dengan meminimalisir dampak dari ancaman bencana pesisir seperti sea level rises dan banjir rob kemungkinan membutuhkan adaptasi lebih lanjut di masa depan karena justru dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK). Peningkatan aktivitas manusia secara tidak langsung meningkatkan kebutuhan akan energi yang akan ikut meningkatkan produksi emisi gas rumah kaca. Peningkatan konsumsi energi seperti listrik, air bersih, dan kebutuhan dasar lainnya yang dimaksudkan untuk mendukung aktivitas manusia seperti yang dijelaskan Trenberth sebelumnya dapat memicu perubahan komposisi atmosfer yang menyebabkan perubahan iklim. Harley (2006) juga pernah menggambarkan bagaimana aktivitas manusia di pesisir menjadi elemen paling berpengaruh terhadap perubahan iklim dengan mengatakan “aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil (penggunaan energi berlebih) dan penggundulan hutan mengarah ke konsentrasi gas rumah kaca yang lebih tinggi di atmosfer, yang pada gilirannya menyebabkan serangkaian perubahan fisik dan kimia di lautan pesisir” yang juga dituangkan seperti pada gambar  sistem perubahan iklim di bawah ini :


2.      Secara tidak proporsional membebani yang lebih rentan
Tindakan adaptasi dikatakan maladaptasi jika, dalam memenuhi kebutuhan satu sektor atau kelompok, mereka meningkatkan kerentanan mereka yang paling berisiko, seperti kelompok minoritas atau rumah tangga berpendapatan rendah. Beberapa kasus reklamasi di Indonesia dapat menjadi contoh terkait hal tersebut, pembangunan reklamasi dengan peruntukan perekonomian dan permukiman hanya dapat diakses masyarakat dengan ekonomi menengah keatas akibat nilai lahan yang sangat tinggi. Kawasan pesisir yang sebelumnya dihuni oleh masyarakat dengan mata pecaharian utama nelayan, dengan pembangunan reklamasi akses untuk melaut tertutup ataupun ketika harus melaut jarak yang di tempuh harus lebih jauh yang menyebabkan biaya yang dibutuhkan lebih besar. Hal ini menyebabkan beberapa nelayan harus mencari sumber mata pencaharian baru dan perubahan fisik yang juga memunculkan kantong-kantong kumuh.

Berdasarkan penjabaran diatas, dalam artikel ini kemudian tidak memberikan judgement apakah reklamasi di Indonesia merupakan bentuk adaptasi atau maladaptasi. Hal ini dikarenakan kita perlu melihat ke paradigma yang lebih luas lagi baik terkait teknis maupun sistem yang terbentuk di dalamnya. Pembangunan reklamasi bisa saja menjadi bentuk adaptasi terhadap bencana pesisir akibat perubahan iklim pada masa sekarang dengan pembangunan reklamasi sebagai tanggul laut yang mengurangi risiko terhadap bencana sea level rises ataupun banjir rob, tetapi juga dapat digolongkan sebagai maladaptasi karena meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan perubahan struktur sosial, sehingga justru membutuhkan bentuk adaptasi yang lebih besar di masa depan.

Artikel ini disajikan sebagai bahan diskusi dan acuan dalam pembangunan (terutama pembangunan reklamasi) sebagai bentuk adaptasi perlu mempertimbangkan berbagai hal yang sewaktu-waktu justru memunculkan masalah yang lebih kompleks dengan risiko meningkatnya kerentanan di area pesisir tersebut. Peningkatan asset perekonomian dan jumlah masyarakat yang bermukim merupakan kerentanan terhadap potensi bencana di kawasan reklamasi.

Perlunya adaptasi terhadap perubahan iklim diintegrasikan dalam pengarusutamaan program-program pembangunan. Selain itu, penguatan kapasitas lokal penting untuk dilakukan, termasuk peningkatan koordinasi pusat-daerah, perencanaan dan pendanaan. Masyarakat juga perlu lebih memahami isu perubahan iklim, serta ketahanan keluarga miskin dan kelompok rentan lainnya perlu ditingkatkan.  Penelitian-penelitian juga perlu dilakukan untuk menambah pemahaman akan dampak lokal perubahan iklim.

Selengkapnya

Thursday, January 3, 2019

Tata Ruang Perkotaan & Percepatan Pembangunan



Oleh : Mohammad Muttaqin Azikin

Pembangunan adalah proses yang dinamis. Sebuah proses yang bergulir dari waktu ke waktu, tidak pernah berhenti. Sebab, pembangunan meniscayakan sebuah perubahan, sementara perubahan itu sendiri senantiasa terus berlangsung.

Pada buku “Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan Indonesia”, Budhy Tjahjati S. Soegijoko menyebutkan bahwa: Pembangunan di Indonesia, dicirikan dengan terjadinya perkembangan penduduk yang pesat, meningkatnya jumlah penduduk perkotaan, bergesernya struktur kegiatan ekonomi yang pada awalnya bertumpu pada kegiatan pertanian menjadi kegiatan industri dan munculnya permasalahan yang berkaitan dengan penataan ruang. Permasalahan ini antara lain meliputi penurunan mutu lingkungan hidup, akibat pemanfaatan lahan yang melampaui daya dukung lingkungan. Ditambah lagi, dengan tidak adanya upaya-upaya intervensi melalui pemanfaatan teknologi yang tepat, pembangunan pada wilayah konservasi, tumpang tindih pemanfaatan lahan, pembangunan di wilayah baru yang kurang mempertimbangkan kondisi sosial budaya atau kurang melibatkan masyarakat setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya struktur enclave di lokasi proyek-proyek pembangunan.

Sejalan dengan meningkatnya laju pertumbuhan pada berbagai sektor, dan juga berlangsungnya transformasi demografi dan sosial ekonomi, maka tampaknya kemampuan pemerintah di berbagai daerah, dalam melaksanakan pembangunan di wilayahnya juga semakin meningkat. Dengan begitu, percepatan pembangunan tak bisa lagi dielakkan. Tetapi, yang harus diingat dan menjadi perhatian semua pihak bahwa pembangunan bukanlah praktik tanpa pedoman.

Pedoman pembangunan ini menjadi krusial karena sejak awal kita telah memutuskan untuk ‘melakukan pembangunan’. Oleh sebab itu, perencanaan pembangunan harus selalu merupakan penjabaran dari konstitusi serta regulasi yang ada. Perencanaan secara operasional diturunkan dari premis dan asumsi dasar, sebagai nilai yang dipergunakan untuk melihat kondisi hari ini dan proyeksi masa depan. Mungkin berbeda dengan masa lalu, perencanaan pembangunan masa kini berusaha memadukan antara masukan dari bawah dan dari atas. Pembangunan hari ini, mesti mengacu pada keperluan, potensi dan kebutuhan dari rakyat sendiri.

Salah satu yang menjadi perhatian adalah pembangunaan perkotaan.  Mengapa? Karena pada dasarnya wilayah perkotaan dipandang sebagai lokasi yang paling efisien dan efektif untuk kegiatan-kegiatan produktif, sehubungan dengan ketersediaan sarana dan prasarana, tenaga kerja terampil, tersedianya dana sebagai modal, dan sebagainya. Bila usaha diversifikasi ekonomi kota semakin dipacu, peranan kota akan semakin meningkat pula dan urbanisasi merupakan suatu konsekuensi yang perlu dihadapi. Di satu sisi, kota akan semakin dituntut agar dapat berfungsi secara lebih efisien, namun di lain sisi, jumlah penduduk yang semakin meningkat serta munculnya permasalahan-permasalahan perkotaan lainnya yang semakin rumit dan kompleks, tidak dapat dihindari. Dengan demikian, perkotaan telah menjadi bagian yang sangat penting dalam pembangunan daerah, sebab kota-kota akan merupakan titik-titik simpul yang diharapkan mampu menjawab dua hal. Pertama, kota harus mampu menjawab permasalahan internalnya, untuk pengembangan kehidupan masyarakat kota. Kedua, kota diharuskan pula mampu berfungsi sebagai akselerator pembangunan wilayah belakangnya/sekitarnya, guna mencapai pertumbuhan dan keseimbangan pembangunan antar wilayah.

Namun, di tengah upaya pemerintah melakukan percepatan pembangunan, khususnya di berbagai daerah serta kota-kota besar, terjadi sebuah paradoks dalam pembangunan. Yakni tidak terjalinnya sinkronisasi antara proyek pembangunan yang akan dikerjakan dengan rencana pembangunan yang sudah ada. Sebagai contoh, penerapan UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang salah satunya berwujud rencana tata ruang, seringkali terabaikan dan tidak lagi dijadikan acuan, di setiap tingkatannya. Mulai pada tingkat pusat sampai di daerah-daerah. Akibatnya, muncul berbagai persoalan dalam pekerjaan proyek pembangunan yang ada. Apa yang terjadi pada proyek pembangunan jalur kereta cepat Jakarta – Bandung, reklamasi teluk Jakarta, serta proyek-proyek reklamasi lainnya di berbagai kota dan daerah adalah merupakan sebagian kecil, fakta dan bukti atas implikasi yang ditimbulkan dari paradoks pembangunan tersebut.

Karena itulah pada awal April 2016 lalu, dalam Forum Rakornas, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), menyerukan agar pemerintah tidak mengabaikan rencana tata ruang yang ada, bahkan menjadikannya sebagai matra spasial pembangunan, sehingga tidak ada lagi kebijakan pembangunan yang tidak memperhatikan kebijakan tata ruang yang sudah ada.

Adalah suatu hal yang logis, bila penataan ruang dijadikan sebagai piranti pembangunan berkelanjutan. Sebab, penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian serta kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan, dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang. Maka tak pelak lagi, sebuah rencana tata ruang mesti disusun dengan perspektif menuju ke keadaan pada masa depan yang diharapkan.

Untuk menghindari terjadinya paradoks pembangunan di waktu yang akan datang, maka upaya sinkronisasi, keterpaduan dan keselarasan, dengan cara mengintegrasikan berbagai kebijakan pembangunan, mutlak harus dilakukan. Sehingga percepatan pembangunan yang dilakukan tidak lagi menempuh jalan pintas atau menabrak kebijakan dan regulasi pembangunan yang lain.

Dan bila harmonisasi dalam upaya percepatan pembangunan tersebut berjalan dengan semestinya, maka tujuan yang sama dari pembangunan dan penataan ruang bisa terwujud dan dirasakan bersama, yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia. Wallahu a’lam bisshawab.
Selengkapnya