Wednesday, February 20, 2019

Reklamasi Indonesia: Adaptasi Atau Maladaptasi?


Oleh: Andi Idham Asman
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Keilmuan "Panrita (Planning Research and Literation) Studio"

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan panjang pesisir mencapai 108.000 km2 (BIG, 2018), menempatkan Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada (menginspirasi.com, 2018). Kondisi ini menyebabkan sebagian besar wilayah perkotaan Indonesia berada di daerah pesisir yang diikuti dengan aktivitas masyarakat yang juga lebih banyak di daerah pesisir, bahkan menurut data dari bank dunia lebih dari 65 % masyarakat Indonesia tinggal didaerah pesisir. Jumlah penduduk yang berkembang pesat di kawasan perkotaan akibat urbanisasi mengakibatkan permintaan ruang semakin meningkat. Salah satu upaya yang cukup banyak dilakukan pemerintah Indonesia saat ini dalam rangka memenuhi kebutuhan ruang tersebut adalah reklamasi pantai.

Menurut undang-undang no 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh setiap orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase. UU no 1 tahun 2014 tersebut merupakan perubahan dari UU No 27 tahun 2007. Definisi reklamasi yang semula dijelaskan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh “orang” berubah menjadi “setiap orang”. Perubahan tersebut dilakukan untuk mempertegas bahwa kegiatan tersebut bukan hanya ditujukan untuk orang tertentu tetapi dapat dilakukan oleh siapapun. Kegiatan pembangunan reklamasi dikawasan pesisir hampir sebagian besar dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan ruang akibat pertumbuhan penduduk yang pesat. Beberapa contoh Negara yang melakukan reklamasi diantaranya adalah Singapura, Hongkong, Jepang, Korea Selatan dan Belanda. Singapura misalnya, Pertambahan penduduk yang cukup tinggi menuntut disiapkannya lahan bagi kebutuhan perumahan, industri dan fasilitas perkotaan sehingga pada tahun 1970-an mulai dilakukan reklamasi (Syamsidik, 2003).

Di Indonesia sendiri, pembangunan reklamasi di kota-kota pesisir telah banyak dilakukan seperti, Jakarta, Manado, Bali, Makassar, Semarang, dan Palu. Sama halnya dengan pembangunan reklamasi di kota-kota dunia, reklamasi di Indonesia dilakukan untuk memenuhi kebutuhan permukiman dan kegiatan perekonomian. Selain peruntukkan ruang permukiman dan kegiatan perekonomian, dalam rencana tata ruang ataupun master plan perencanaan, menjadikan reklamasi sebagai bagian dari strategi adaptasi terhadap ancaman bencana seperti sea level rise, banjir rob, dan bencana pesisir lainnya yang disebabkan oleh perubahan iklim. Dengan tujuan dan fungsi pembangunan reklamasi yang disebutkan di atas, apa yang membuat masih banyak kontra atau penolakan terhadap pembangunan reklamasi? Hal ini tentu menarik untuk didiskusikan.
Artikel ini berfokus pada pembangunan berkelanjutan dan judgement dari sisi yang lebih global, sehingga masih banyak paradigma yang lebih teknis untuk didiskusikan lebih lanjut. Oleh karena itu, dalam artikel ini reklamasi akan dibahas sebagai bentuk adaptasi ataupun maladaptasi terhadap perubahan iklim.

Berbicara mengenai adaptasi dan maladaptasi, tentunya tak terlepas dari pembahasan perubahan iklim itu sendiri. Perubahan iklim merupakan pemicu utama potensi terjadinya bencana yang disebutkan sebelumnya menjadi ancaman yang kemudian melahirkan perencanaan untuk meminimalisir dan atau bahkan menghilangkan dampak terhadap bencana pesisir.

Perubahan iklim didefinisikan dalam RAN API sebagai perubahan signifikan pada iklim yang berlangsung selama minimal 30 tahun atau lebih lama. Sedangkan menurut Trenberth dkk, mengatakan perubahan iklim sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang mengubah komposisi atmosfer, yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang. Proses perubahan iklim yang meningkatkan ancaman terhadap bencana terutama di kawasan pesisir mendorong perlunya upaya adaptasi terhadap perubahan iklim.

Adaptasi dalam dokumen RAN API adalah penyesuaian dalam sistem alam atau sistem buatan manusia untuk menjawab rangsangan atau pengaruh iklim, baik yang bersifat aktual ataupun perkiraan, dengan tujuan mengontrol bahaya yang ditimbulkan atau memberikan kesempatan yang menguntungkan. Adaptasi dapat juga didefinisikan sebagai usaha alam atau manusia menyesuaikan diri untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang sudah atau mungkin terjadi.

Maka, perlunya adaptasi terhadap perubahan iklim diintegrasikan dalam pengarusutamaan program-program pembangunan. Pembangunan reklamasi seperti yang disebutkan sebelumnya merupakan bagian dari adaptasi terhadap ancaman bencana pesisir. Reklamasi yang kemudian difungsikan sebagai sea wall tentu akan dapat mencegah air laut masuk kedaratan akibat bencana seperti sea level rises dan banjir rob. Namun, beberapa fakta belakangan ini terjadi bahwa sering kali upaya yang dilakukan untuk adaptasi malah berdampak buruk atau justru meningkatkan kerentanan yang sering disebut dengan maladaptasi.

Ada beberapa pendapat tentang maladaptasi, seperti yang dikemukakan oleh Scheraga and Grambsch (1998) menggambarkan bahwa maladaptasi sebagai situasi di mana dampak negatif yang disebabkan oleh keputusan adaptasi sama seriusnya dengan dampak iklim yang dihindari. IPCC ketiga juga mendeskripsikan maladaptasi yaitu sebagai sebuah adaptasi yang tidak berhasil mengurangi kerentanan tetapi malah meningkatkannya. Kemudian Jon Barnet dan Saffron O’Neil (2009) mensintesis dan memperluas wawasan dari definisi-deinisi sebelumnya dan mendefinisikan maladaptasi sebagai tindakan yang diambil seolah-olah untuk menghindari atau mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim yang berdampak buruk, atau meningkatkan kerentanan sistem, sektor atau kelompok sosial lain. Berdasarkan pemaparan diatas, kini muncul pertanyaan sederhana:

Apakah reklamasi di Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk maladaptasi?

Ada beberapa tipe yang kemudian dapat digunakan sebagai kriteria atau mengevaluasi terkait maladaptasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, dalam artikel ini melihat dari sisi yang lebih global sehingga pembahasan akan difokuskan pada 2 tipe maladaptasi terkait dengan pembangunan reklamasi di Indonesia. Tentu saja perlu dikaji lebih dalam terkait tipe-tipe yang bisa jadi sifatnya lebih teknis ataupun dari paradigm berbeda.
1.      Meningkatkan Emisi Gas Rumah Kaca
Jenis maladaptasi ini tentu menjadi hal yang cukup umum, sebagai contoh yang paling sering disebutkan adalah peningkatan penggunaan AC yang berenergi tinggi sebagai respons terhadap dampak kesehatan dari gelombang panas (Kovats et al., 2006). Dalam kasus reklamasi di Indonesia, hal ini kemungkinan dapat terjadi. Dengan pembangunan reklamasi di Indonesia yang sebagian besar untuk peruntukkan ruang permukiman dan kegiatan perekonomian, maka akan meningkatkan aktivitas di kawasan pesisir tersebut. Pembangunan reklamasi yang dimaksudkan sebagai adaptasi terhadap perubahan iklim dengan meminimalisir dampak dari ancaman bencana pesisir seperti sea level rises dan banjir rob kemungkinan membutuhkan adaptasi lebih lanjut di masa depan karena justru dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK). Peningkatan aktivitas manusia secara tidak langsung meningkatkan kebutuhan akan energi yang akan ikut meningkatkan produksi emisi gas rumah kaca. Peningkatan konsumsi energi seperti listrik, air bersih, dan kebutuhan dasar lainnya yang dimaksudkan untuk mendukung aktivitas manusia seperti yang dijelaskan Trenberth sebelumnya dapat memicu perubahan komposisi atmosfer yang menyebabkan perubahan iklim. Harley (2006) juga pernah menggambarkan bagaimana aktivitas manusia di pesisir menjadi elemen paling berpengaruh terhadap perubahan iklim dengan mengatakan “aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil (penggunaan energi berlebih) dan penggundulan hutan mengarah ke konsentrasi gas rumah kaca yang lebih tinggi di atmosfer, yang pada gilirannya menyebabkan serangkaian perubahan fisik dan kimia di lautan pesisir” yang juga dituangkan seperti pada gambar  sistem perubahan iklim di bawah ini :


2.      Secara tidak proporsional membebani yang lebih rentan
Tindakan adaptasi dikatakan maladaptasi jika, dalam memenuhi kebutuhan satu sektor atau kelompok, mereka meningkatkan kerentanan mereka yang paling berisiko, seperti kelompok minoritas atau rumah tangga berpendapatan rendah. Beberapa kasus reklamasi di Indonesia dapat menjadi contoh terkait hal tersebut, pembangunan reklamasi dengan peruntukan perekonomian dan permukiman hanya dapat diakses masyarakat dengan ekonomi menengah keatas akibat nilai lahan yang sangat tinggi. Kawasan pesisir yang sebelumnya dihuni oleh masyarakat dengan mata pecaharian utama nelayan, dengan pembangunan reklamasi akses untuk melaut tertutup ataupun ketika harus melaut jarak yang di tempuh harus lebih jauh yang menyebabkan biaya yang dibutuhkan lebih besar. Hal ini menyebabkan beberapa nelayan harus mencari sumber mata pencaharian baru dan perubahan fisik yang juga memunculkan kantong-kantong kumuh.

Berdasarkan penjabaran diatas, dalam artikel ini kemudian tidak memberikan judgement apakah reklamasi di Indonesia merupakan bentuk adaptasi atau maladaptasi. Hal ini dikarenakan kita perlu melihat ke paradigma yang lebih luas lagi baik terkait teknis maupun sistem yang terbentuk di dalamnya. Pembangunan reklamasi bisa saja menjadi bentuk adaptasi terhadap bencana pesisir akibat perubahan iklim pada masa sekarang dengan pembangunan reklamasi sebagai tanggul laut yang mengurangi risiko terhadap bencana sea level rises ataupun banjir rob, tetapi juga dapat digolongkan sebagai maladaptasi karena meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan perubahan struktur sosial, sehingga justru membutuhkan bentuk adaptasi yang lebih besar di masa depan.

Artikel ini disajikan sebagai bahan diskusi dan acuan dalam pembangunan (terutama pembangunan reklamasi) sebagai bentuk adaptasi perlu mempertimbangkan berbagai hal yang sewaktu-waktu justru memunculkan masalah yang lebih kompleks dengan risiko meningkatnya kerentanan di area pesisir tersebut. Peningkatan asset perekonomian dan jumlah masyarakat yang bermukim merupakan kerentanan terhadap potensi bencana di kawasan reklamasi.

Perlunya adaptasi terhadap perubahan iklim diintegrasikan dalam pengarusutamaan program-program pembangunan. Selain itu, penguatan kapasitas lokal penting untuk dilakukan, termasuk peningkatan koordinasi pusat-daerah, perencanaan dan pendanaan. Masyarakat juga perlu lebih memahami isu perubahan iklim, serta ketahanan keluarga miskin dan kelompok rentan lainnya perlu ditingkatkan.  Penelitian-penelitian juga perlu dilakukan untuk menambah pemahaman akan dampak lokal perubahan iklim.