Friday, November 9, 2018

Mendudukkan Bencana dalam Sudut Pandang Ilmiah dan Ruhiyah




Oleh : Despry Nur Annisa Ahmad*

Bencana menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/ atau faktor nonalam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Indonesia dalam waktu terakhir ini sedang masif dilanda bencana alam tektonik. Beberapa diantaranya yang menyebabkan korban jiwa adalah Gempabumi di Lombok dengan kekuatan 6,4 skala richter (SR) sehingga menghempas Lombok (Nusa Tenggara Barat) dan Bali. Dilansir dari BBC, terhitung 31 Juli 2018 lalu, jumlah korban yang dievakuasi di penampungan mencapai lebih dari 5.000 orang di Lombok. Gempa ini juga mengakibatkan 436 orang meninggal, lebih dari 1.393 orang luka-luka, 22.000 rumah rusak, dan 8 titik desa porak poranda, di antaranya: Calabai, Karombi, Kadindi Barat, Nangamiro, Kadindi Timur, Tambora, Pekat, dan Sorinomo.

Usai gempa pertama pada Minggu pagi tersebut, dirasakan lagi setidaknya 593 gempa susulan. Bahkan saat Minggu malam, jauh lebih dahsyat karena magnitudonya mencapai 7,0 SR dan berpusat di kedalaman kurang dari 20 kilometer, di area darat pula. Menurut data laporan pemerintah daerah dan relawan yang dikumpulkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Jumat (10/8/2018) siang, tercatat 321 orang meninggal dunia.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga sempat mengaktifkan peringatan akan terjadinya gelombang tsunami pada gempa berkekuatan 7,0 SR tersebut. Namun, dalam kurun waktu satu jam peringatan itu dicabut. Walaupun menurut data dari BMKG, gelombang tsunami sudah sempat menghantam wilayah pesisir dengan ketinggian 10-13 centimeter. Pasca terjadinya gempa besar tersebut sekitar pukul 18:46 WITA, Lombok kembali digoyang 47 kali gempa susulan dengan intensitas gempa yang lebih kecil.

Selanjutnya pada 28 September 2018, Palu juga dilanda gempabumi dengan kekuatan 7,4 SR dan menimbulkan gelombang tsunami. Dilansir melalui Kompas 8 Oktober 2018 lalu, data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa jumlah korban jiwa akibat gempa dan tsunami mencapai 1.763 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.519 jenazah ditemukan di Palu. Sementara, sebanyak 159 jenazah ditemukan di Donggala. Di Sigi, ditemukan 69 korban tewas; 15 jenazah di Parigi, dan 1 jenazah ditemukan di Pasangkayu. Adapun jumlah pengungsi, tercatat 62.359 jiwa di 147 titik.

Tidak hanya di Lombok maupun Palu, 11 Oktober di Situbondo Jawa Timur juga diguncang gempabumi dengan kekuatan 6,4 SR. Dilansir dari Tribunnews.com (11/10/2018), data dari BPBD mencatat bahwa jumlah korban meninggal dunia adalah 3 orang, jumlah korban yang luka-luka adalah 9 orang, dan sebanyak 25 rumah warga yang hancur akibat gempa.

Secara ilmiah, terjadinya gempabumi di Lombok, Palu, dan Situbondo memang merupakan peristiwa alam yang berupa hasil kerja lempeng tektonik di dalam bumi. Wilayah-wilayah yang berada dijalur sesar atau patahan aktif, alamiahnya memang akan diguncang gempa. Jika kekuatan magnitudo gempabumi tersebut berada dikisaran magnitudo 7 SR dan titik sumber gempanya dangkal atau memiliki kedalaman kurang dari 20 km, maka gempa tersebut termasuk dalam salah satu kriteria gempa yang berpotensi tsunami.

Lebih lanjut, tatanan lahan yang terdapat di Lombok, Palu, dan Situbondo terbentuk oleh proses geomorfologi struktural. Wilayah yang terbentuk dari proses struktural alamiahnya dalam jutaan tahun lalu merupakan daerah patahan. Pantai pasir putih adalah salah satu indikasi dari wilayah tersebut merupakan wilayah patahan karena pasir putih terbentuk dari proses struktural lalu mengalami pengangkatan ke dasar lautan dan membentuk lahan solusional. Jika disederhanakan, biasanya proses struktural dan proses solusional itu hampir sering berkolaborasi dalam waktu yang bersamaan.

Sejauh ini, seringkali banyak korban jiwa berjatuhan ketika dihantam oleh gempabumi dan tsunami karena secara teknisnya, tata ruang wilayah setempat belum berbasis dengan kajian mitigasi bencana. Padahal dalam aturannya di Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang sudah memuat himbauan agar tata ruang suatu wilayah haruslah disertai dengan kajian mitigasi bencana.

Jika ditelisik lebih jauh lagi, database terkait peta geologi maupun peta geomorfologi skala detail belum tersedia dan ini masih disepelehkan. Padahal, inilah yang justru lebih urgent disediakan karena pembuatan rencana tata ruang suatu wilayah yang resisten terhadap bencana haruslah berbasis pada geomorfologi maupun geologi wilayah tersebut. Bukan malah hanya menjadikan kajian aspek geologi maupun aspek geomorfologi sebagai data penunjang.

Valeda, dkk (2016) membuktikan dalam penelitiannya bahwa keberadaan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTWR) belum efektif dalam mereduksi bencana. Kemudian Muta’ali (2014) membahas lebih lanjut bahwa keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah masih dinilai belum efektif dalam mereduksi bencana karena deliniasi atau penetapan batas kawasan rawan bencananya kurang memiliki indikator penetapan kawasan rawan bencana yang tepat.

Kebanyakan produk tata ruang dalam melakukan justifikasi kawasan rawan bencana hanya berdasar kondisi eksisting. Padahal idealnya, kajian bencana dan upaya pengurangan risikonya itu butuh kajian ilmiah yang mendalam juga.

Selain itu, alasan lain dari tidak terselenggaranya produk tata ruang yang berbasis mitigasi bencana karena sejauh ini produk RTRW seringkali berorientasi pada nilai ekonomi sehingga tidak lagi melihat kemampuan lahannya terhadap bencana seperti apa.

Pernyataan penulis tersebut sejalan dengan apa yang telah disampaikan oleh Mardiatno (2014) selaku Kepala Pusat Studi Bencana Alam di Universitas Gadjah Mada pernah beropini dalam Kompas, 16 Juni 2014. Beliau menyatakan bahwa, “Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) seharusnya bisa menjadi kendali untuk mengurangi dampak bencana, apabila dalam pelaksanaannya memperhitungkan kajian-kajian tentang risiko. Masalahnya, RTRW kebanyakan hanya berorientasi ekonomi. Bahkan, sejumlah infrastruktur baru, misalnya Bandara Yogyakarta juga dibangun di daerah rentan gempa dan tsunami, selain juga banjir”.

Terjadinya tumpang tindih kebijakan teknis ini terjadi karena orientasi pembangunan hari ini memang masih dititikberatkan pada orientasi ekonomi. Bahkan bisa dikatakan, demi investasi, nyawa rakyat hampir sering menjadi taruhannya.

Hasil riset dari Prof Otto Ongkosongo sebelumnya telah pernah memformulasikan bahwa maksiat dan bencana itu punya korelasi yang kuat. Berdasar hasil riset tersebut dapat diambil hikmah bahwa bencana yang terjadi hari ini tidak dicukupkan pada kajian aspek ilmiah saja tapi juga sangat perlu didudukkan pada sudut pandang ruhiyah. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bersabda: “Jika harta rampasan perang dijadikan kas negara (tidak lagi diberikan kepada orang yang ikut perang), amanah dijadikan rebutan, jatah zakat dikurangi, selain ilmu agama banyak dipelajari, lelaki taat kepada wanita dan memperbudak ibunya, orang lebih dekat kepada temannya dan menjauh dari ayahnya, banyak teriakan di masjid, yang memimpin kabilah adalah orang yang bejat (fasik), yang memimpin masyarakat orang yang rendah (agamanya), orang dimuliakan karena ditakuti pengaruh buruknya, para penyanyi wanita tampil di permukaan, khamr diminum, dan generasi terakhir melaknat generasi pertama (sahabat), maka bersiaplah ketika itu dengan adanya angin merah, gempa bumi, manusia ditenggelamkan, manusia diganti wajahnya, dilempari batu dari atas, dan berbagai tanda kekuasaan Allah (musibah) yang terus-menerus, seperti ikatan biji tasbih yang putus talinya, maka biji ini akan lepas satu-persatu.” (HR. Turmudzi).

Berdasarkan hadits tersebut, kita semua harus banyak-banyak bermuhasabah. Jangan sampai kejadian bencana saat ini adalah warning dari pemilik alam agar kita menunaikan seluruh hak-hakNya untuk tertunaikan secara sempurna.

Terkait penanggulangan bencana, peradaban islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah telah mencontohkannya. An Nawiy (2018) memaparkan bahwa manajemen bencana model Khilafah Islamiyah tegak di atas aqidah Islamiyah. Prinsip-prinsip pengaturannya didasarkan pada syariat Islam, ditujukan untuk kemashlahatan rakyat, sehingga kebijakan teknis dilapangan tidak saling tumpang tindih. Manajemen bencana Khilafah Islamiyah meliputi penanganan pra bencana, ketika, dan sesudah bencana.

Penangangan pra bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mencegah atau menghindarkan penduduk dari bencana. Kegiatan ini meliputi pembangunan sarana-sarana fisik untuk mencegah bencana, seperti pembangunan kanal, bendungan, pemecah ombak, tanggul, dan lain sebagainya. Reboisasi (penanaman kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata kota yang berbasis pada amdal, memelihara kebersihan lingkungan, dan lain-lain.

Kegiatan lain yang tidak kalah penting adalah membangun mindset dan kepedulian masyarakat, agar mereka memiliki persepsi yang benar terhadap bencana; dan agar mereka memiliki perhatian terhadap lingkungan hidup, peka terhadap bencana, dan mampu melakukan tindakan-tindakan yang benar ketika dan sesudah bencana. Untuk merealisasikan hal ini, khalifah akan melakukan edukasi terus-menerus, khususnya warga negara yang bertempat tinggal di daerah-daerah rawan bencana alam; seperti warga di lereng gunung berapi, pinggir sungai dan laut, dan daerah-daerah rawan lainnya.

Edukasi meliputi pembentukan dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap penjagaan dan perlindungan lingkungan; serta peningkatan pengetahuan mereka terhadap penanganan ketika dan pasca bencana. Harapannya, masyarakat terbiasa peduli terhadap lingkungannya dan mengetahui cara untuk mengantisipasi dan menangani bencana, dan me-recovery lingkungannya yang rusak—akibat bencana—agar kembali berfungsi normal seperti semula.

Selain itu, Khilafah Islamiyah membentuk tim-tim SAR yang memiliki kemampuan teknis dan non teknis dalam menangani bencana. Tim ini dibentuk secara khusus dan dibekali dengan kemampuan dan peralatan yang canggih–seperti alat telekomunikasi, alat berat, serta alat-alat evakuasi korban bencana, dan lain-lain–, sehingga mereka selalu siap sedia (ready for use) diterjunkan di daerah-daerah bencana. Tim ini juga bergerak secara aktif melakukan edukasi terus-menerus kepada masyarakat, hingga masyarakat memiliki kemampuan untuk mengantisipasi, menangani, dan me-recovery diri dari bencana.

Serangkaian upaya manajemen tersebut telah dicontohkan pada saat terjadinya bencana paceklik yang menimpa Jazirah Arab dibawah kepemimpinan Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu. Pada saat itu, orang-orang mendatangi Kota Madinah sebagai pusat pemerintahan Khilafah Islamiyah untuk meminta bantuan pangan. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu segera membentuk tim yang terdiri dari beberapa orang sahabat, seperti Yazid bin Ukhtinnamur, Abdurrahman bin al-Qari, Miswar bin Makhramah, dan Abdullah bin Uthbah bin Mas’ud radhiyallahu anhu.

Setiap hari, keempat orang sahabat yang mulia ini melaporkan seluruh kegiatan mereka kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu, sekaligus merancang apa yang akan dilakukan besok harinya. Umar bin Khaththab ra menempatkan mereka di perbatasan Kota Madinah dan memerintahkan mereka untuk menghitung orang-orang yang memasuki Kota Madinah. Jumlah pengungsi yang mereka catat jumlahnya terus meningkat. Pada suatu hari, jumlah orang yang makan di rumah Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berjumlah 10 ribu orang, sedangkan orang yang tidak hadir di rumahnya, diperkirakan berjumlah 50 ribu orang.

Pengungsi-pengungsi itu tinggal di Kota Madinah selama musim paceklik. Dan selama itu pula mereka mendapatkan pelayanan yang terbaik dari Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu. Setelah musim paceklik berakhir, Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu memerintahkan agar pengungsi-pengungsi itu diantarkan kembali di kampung halamannya masing-masing. Setiap pengungsi dan keluarganya dibekali dengan bahan makanan dan akomodasi lainnya, sehingga mereka kembali ke kampung halamannya dengan tenang dan penuh kegembiraan. Manajemen bencana tersebut disusun karena dorongan aqidah islam untuk melaksanakan syariah “wajibnya seorang Khalifah melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya”.

Jikalau pemimpin negeri saat ini juga menggunakan prinsip aqidah islam dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, tentunya pemimpin hari ini tidak menyepelehkan kajian kemampuan lahan, penyediaan peta geologi dan peta geomorfologi dalam skala detail untuk dokumen tata ruang. Ekonomi juga bukan dijadikan basis orientasi pembangunan. Ridho Allah-lah yang menjadi basis pembangunan yang dilaksanakan agar dibawah kekuasaannya, rakyat tidak mengami penderitaan akibat kedzaliman pemimpin dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat.

Bencana gempabumi, tsunami, ataupun bencana lainnya memang merupakan musibah dan Qadha Allah. Kita sebagai manusia tidak memiliki ilmu yang bisa memprediksi kapan terjadinya. Namun, ada area ikhtiar kita sebagai manusia dalam melakukan upaya pengurangan risiko bencana. Dan sejauh ini, pembangunan-pembangunan atau dokumen tata ruang yang ada kebanyakan belum berbasis pada kajian risiko bencana. Olehnya, tanggung jawab pemimpinlah yang seharusnya menghadirkan Ruh Ilahi dalam menciptakan ruang yang aman, nyaman produktif, dan berkelanjutan bagi masyarakatnya. Sebab pemimpin yang yang memiliki kesadaran aqidah islam yang mengkrista, alamiahnya pasti akan menerapkan jaring-jaring syariah secara sempurna dan paripurna. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al-A’raf: 96)

*Penulis adalah Lulusan Sarjana Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar dan lulusan Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai universitas Gadjah Mada