Saturday, August 19, 2017

Dilematis Antara Realisasi dan Implikasi Smart City




Oleh: Despry Nur Annisa Ahmad, ST*

Bismillah..

Sebelumnya saya ingin mengatakan terlebih dulu, menulis tulisan ini bukan karena saya khatam tentang segala hal yang berkaitan dengan spasial tapi justru saya haus ilmunya dan ada yang membuat saya gelisah. Saran dan kritik setelah membaca tulisan saya ini, sangat dipersilahkan agar tulisan ini bukan hanya sekadar pepesan kosong belaka namun berharap bisa semakin menambah wawasan + iman kita dan juga sekaligus menjadi hujjah di hadapan Allah kelak.

Well, langsung saja. Ntah kenapa makin kesini saya kian khawatir dengan evolusi teori-teori smart yang disandingkan dengan ranah kewilayahan. Misalnya, smartcity. Atau yang lebih ngetrend lagi ada soal perbincangan kota teknopolis. Smartcity sendiri -inti- konsepnya adalah kota yang bertujuan untuk memajukan taraf perkekonomian yang berbasis teknologi untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Kedudukan urgensitas smartcity itu sendiri dalam tatanan Sustainable Development Goals (SDGs) program terdapat ada pada No. 11, sustainables cities and communities.

Adapun tentang kota teknopolis yang telah mulai menuju booming juga penggarapannya, adalah suatu daerah yang berbasis teknologi tinggi dan memiliki karakteristik masyarakat tersendiri, dimana kawasan ini memerlukan sumber daya manusia yang memiliki kapasitas tinggi yaitu masyarakat atau tenaga kerja dengan tingkat pendidikan minimal bachelor, ilmuwan/peneliti, insinyur, ataupun mereka yang memiliki sertifikat keahlian, serta memiliki kemampuan dalam bidang tertentu seperti pengrajin dan seniman (Castell & hall, 1994 dalam Wulandari, 2017). Bisa dikatakan, bahwa Smartcity adalah Grand Teory dari kota teknopolis. Maksudnya, kota teknopolis adalah cabang smartcity.

Ntah smartcity ataupun kota teknopolis bagi saya personal, keduanya memang bagus, karena based on technologhy. Yah, paling tidak, masyarakatnya dituntut ap tu det, dan itu Keren!! Namun menelisik lebih jauh ke dalam, khususnya semisal teknopolis ini. Saya menjadi semakin khawatir. Khawatir dalam wujud realisasi maupun implikasinya karena di kota yang wujud technopolis ini, masyarakat yang boleh hidup dan tumbuh berkembang seminimalnya sarjana.

As we know that, Biaya pendidikan sekarang super mahal. Tidak seluruh masyarakat Indonesia bisa merasakan yang namanya berpendidikan dasar apalagi berpendidikan tinggi. Data UNICEF tahun 2016 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Untuk lebih meresapi betapa miris dan menyayatnya kondisi pendidikan di negeri ini, silahkan kunjungi link berikut 
https://student.cnnindonesia.com/edukasi/20170417145047-445-208082/tingginya-angka-putus-sekolah-di-indonesia/.

Dengan data pendidikan tersebut, maka pertanyaan sederhana saya muncul, mampukah teknopolis terealisasi? Pun jika ya, apakah teknopolis ini mampu menyejahterakan rakyat?

Kalo bicara soal kesejahteraan, maka tentu yang kita bahas adalah data kondisi perekonomian. Berikut ini saya sajikan data-data trackrecord perekonomian Indonesia saat ini:
1. Koefisien rasio gini statistik kemiskinan dan ketidaksetaraan di Indonesia selama satu dekade 2007-2016 menunjukkan kecenderungan meningkat dan merangkak menuju angka 1 (BPS, 2016). 
2. World Bank Tahun 1999-2000 juga menunjukkan bahwa koefisien rasio gini Indonesia meningkat (dari 0,30 menuju 0,39). 
3. Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) menyatakan, tahun 2016 ketimpangan sudah mencapai angka 0.41- 0.45, dan jika sudah mencapai 0.5 sudah memasuki kesenjangan sosial yang berbahaya.
4.Pengangguran usia muda juga meningkat misalnya ditemukan tingkat pengangguran tertinggi ternyata lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan persentase 9,84 persen, meningkat dari 9,05 persen pada tahun sebelumnya (BPS,2016).
5. Dari segi utang negara juga merah. Hingga akhir September 2016, total utang pemerintah pusat tercatat Rp 3.444,82 triliun. Naik Rp 6,53 triliun dibandingkan akhir Agustus 2016, yaitu Rp 3.438,29 triliun. Total pembayaran cicilan utang pemerintah pada Januari hingga September 2016 adalah Rp 398,107 triliun, atau 82,88% dari pagu, atau yang dialokasikan di APBN (Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, 2016).

Data-data tersebut diatas mewakili betapa kesenjangan tajam hadir dan sustain selama 1 dekade ditengah pertumbuhan ekonomi Indonesia. Maka pertanyaan sederhana saya lagi, tumbuh di golongan manakah ekonomi saat ini?

Belum lagi utang yang menumpuk. Tentang utang ini kita tak perlu khawatir sebab kita kaya akan SDA dari Sabang sampai Merauke. Itu semua adalah aset yang bisa dijual untuk melunasi utang. Pertanyaan sederhana lagi, sehat kah akal kita berpikir demikian???

Kembali mempertegas lagi, mampukah kota-kota berbasis teknologi terealisasi?

Jawaban saya dari hasil menelaah sedikit referensi, Ya. Kota-kota berbasis teknologi bisa terealisasi jika ada modal. Sekiranya penilaian objektif kita sudah mengindera betapa peran kuat kapital (pemodal) selalu memenangkan pertarungan dalam memegang andil pembangunan di negeri ini.

Trus, implikasinya? Yakin dan percaya, bukan sustainable development yang tercipta tapi justru gentrifikasi dan marginalisasi yang sustain. Dan itu adalah sebuah bencana besar tentunya.

Berarti, inovasi gagasan teori kota-kota basis teknologi ini baik apa buruk? Saya personal menjawabnya baik JIKA sistem yang digunakan juga baik.

Apakah sistem saat ini baik? Maaf saya katakan bahwa sistem sekarang tidak baik. Sistem ekonomi Indonesia saat ini adalah sistem ekonomi kapitalis-liberalisme. Sistem ekonomi klasik ini dicetuskan oleh Adam Smith, seorang filsuf asal Skotlandia. Konsep kebijakannya adalah ekonomi bergerak ke arah menuju pasar bebas dan sistem ekonomi berpaham perdagangan bebas dalam era globalisasi (Wikipedia, 2017). Karena sistem ekonomi ini titik tekannya pada pasar bebas maka wajar kalau hidup di sistem ini atmosfer persaingan ketat dan kini kita telah lihat hasilnya, kesenjangan yang semakin meningkat dan pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh kalangan tertentu saja.

Jadi sistem apa yang bagus? Tiada lain, adalah sistem Islam sebab sistem ekonomi kapitalis-liberalisme bukan berasal dari aturan Tuhan Yang Maha Esa maka wajar terdapat keporak-porandaan dalam tahap realisasi pun implikasi. Bukankah hanya Allah saja yang sangat mengetahui kebaikan yang pantas untuk kita? Jika ya, maka sepatutnyalah kita juga mencari tahu bagaimana aturan Allah dalam sektor-sektor kehidupan, utamanya yang berkaitan dalam studi kasus tulisan saya ini.

Sebagai bocoran singkat, Islam mengatur sistem ekonomi itu sangat komperehensif dan sangat bertolak belakang dengan teori pasar bebas milik Adam Smith. Aturan kepemilikan kekayaan dalam Islam dibedakan menjadi 3 yakni kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan kepemilikan pribadi. Ketiga kepemilikan ini punya masing-masing batasan sehingga tidak menghasilkan kerakusan dalam berkepemilikan dan tidak menimbulkan kesenjangan, Insya Allah.

Titik tekannya, secanggih apapun inovasi gagasan maupun teknologi yang kita miliki saat ini untuk membangun negeri dengan bidang ilmu yang kita mumpuni, namun jika sistem ekonominya masih menggunakan sistem ekonomi kapitalisme-liberalisme, sustainable development mustahil terwujud. Sebab segala hal yang berwujud sistem, itu bukanlah benda mati tapi pemikiran yang mempengaruhi perilaku manusia yang mengembannya.

Lalu apa yang harus dilakukan? Bergerak adaptif dan progresif. Bergerak adaptif yakni melakukan upaya apa saja secara kondisional sesuai dengan bidang ilmu yang kita mumpuni dalam melakukan perbaikan ditengah masyarakat. Bergerak adaptif ini cakupannya hanya memberi solusi parsial. Makanya dituntut pula bergerak progresif yakni melakukan upaya serius dalam melakukan penyadaran kepada masyarakat bahwa kita butuh perubahan sistem untuk solusi total mengatasi segala problematika kehidupan saat ini. Dan tiada lain, sistem Islam mampu menjawab itu semua. 
Ingat ya, menyadarkan bukan memaksakan.

Semoga tulisan ini bisa menjadi pemantik bagi kita semua agar tidak mencukupkan diri pada bidang ilmu kampus saja tapi juga kita upayakan untuk mendalami Islam dalam segala aturannya di sektor-sektor kehidupan agar sains dan teknologi atau apapun ilmu kampus yang kita miliki saat ini tetap dalam koridor terbimbing oleh wahyu.

Semoga pula Allah berikan hidayah dan taufiqNya kepada kita semua. Aamiin.

*Mahasiswa Pascasarjana Geografi UGM
(Bukan pakar kota, hanya sekadar manusia haus ilmu)